Minggu, 31 Juli 2011

KonsultasiSyariah: Download Ebook Kumpulan Tanya Jawab Seputar Ramadhan (Jilid I)

KonsultasiSyariah: Download Ebook Kumpulan Tanya Jawab Seputar Ramadhan (Jilid I)


Download Ebook Kumpulan Tanya Jawab Seputar Ramadhan (Jilid I)

Posted: 31 Jul 2011 08:01 PM PDT

Kami hadirkan untuk Anda Ebook seputar . Ebook ini berisi kumpulan tanya jawab seputar yang insya Allah memudahkan Anda untuk mempelajari dan mengkajinya.

Download gratis Ebook pada link berikut:

Tanya Jawab Seputar Ramadhan (14)

Mendapatkan Ridha Suami yang Telah Meninggal

Posted: 31 Jul 2011 07:19 PM PDT

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Apa yang harus dilakukan oleh seorang istri jika dia ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan suaminya tidak ridha kepada istrinya? Si suami meninggal dalam keadaan kecewa terhadap perilaku istri terhadap suami. Si suami mengeluhkan hal tersebut ke anaknya. Si istri (ibu si anak) tersebut hanya bilang, “Tolong mintakan maafku pada ayahmu (suaminya),” sambil menangis dan menyesal dikarenakan si ayah tersebut sakit kemudian dengan sangat cepat meninggal dan si istri belum sempat minta kepadanya. Apa yang harus dilakukan istri dan anaknya tersebut? Jika si anak memberitahu kepada ibunya, dikhawatirkan jiwa si ibu akan terpukul. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta'ala membalas kebaikan Anda.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarkatuh.

Hermawan Fajar Nugraha (HNugr**@***.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Hendaknya istri banyak-banyak istigfar, mendoakan suami, dan bersedekah dengan meniatkan pahalanya untuk suami.

Dijawab oleh Ustadz Aris Munandar, M.A. (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Sabtu, 30 Juli 2011

KonsultasiSyariah: Beda antara Tahajud dengan Tarawih

KonsultasiSyariah: Beda antara Tahajud dengan Tarawih


Beda antara Tahajud dengan Tarawih

Posted: 29 Jul 2011 10:03 PM PDT

Pertanyaan:

السلام عليكم ورحمةالله وبركاته

Ustadz, saya mohon penjelasannya mengenai apakah shalat dengan shalat tahajud itu sama? Dalam arti, kalau sudah shalat tidak perlu melakukan shalat tahajud? Terima kasih, Ustadz.

Kakha Aku (kakha**@***.com)

Jawaban:

Berikut ini adalah keterangan dari Syekh Hamid bin Abdillah Al-Ali.

“Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat, keduanya dinamakan qiyamul lail. Di bulan Ramadan juga dinamakan ‘qiyamul lail‘ atau ‘qiyam ‘. Mereka melaksanakan shalat selama satu bulan di waktu awal malam sampai akhir malam. Sementara, di luar Ramadan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang melaksanakan qiyamul lail di awal malam, di tengah malam, atau terkadang di akhir malam. Ketika Ramadan, beliau lebih rajin lagi dalam beribadah, melebihi rajinnya beliau di luar Ramadan.

Kemudian, setelah itu, kaum muslimin di generasi setelah beliau melaksanakan shalat ketika bulan Ramadan di awal malam, karena ini keadaan yang paling mudah bagi mereka. Mereka melaksanakan shalat malam di sepuluh malam terakhir di penghujung malam, dalam rangka mencari pahala yang lebih banyak dan mendapatkan lailatul qadar, karena shalat di akhir malam itu lebih utama. Selanjutnya, mereka menyebut kegiatan shalat di awal malam setelah isya dengan nama ‘shalat tarawih’, dan mereka menyebut shalat sunah yang dikerjakan di akhir malam dengan nama ‘shalat tahajud’. Semua itu, dalam bahasa Alquran, disebut ‘tahajud‘ atau ‘qiyamul lail‘, dan tidak ada perbedaan antara keduanya dalam bahasa Alquran.

Karena itu, jika ada orang yang ingin melaksanakan (qiyamul lail) selama Ramadan di akhir malam maka ini lebih utama. Sebaliknya, jika ingin shalat (qiyamul lail) sepanjang Ramadan di awal malam atau tengah malam maka semua ini diperbolehkan.” (Diambil dari Al-Fatawa Al-Mukhtarah Thariqul Islam)

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: , ,

Jumat, 29 Juli 2011

KonsultasiSyariah: Cara agar Khusyuk dalam Shalat

KonsultasiSyariah: Cara agar Khusyuk dalam Shalat


Cara agar Khusyuk dalam Shalat

Posted: 29 Jul 2011 03:00 PM PDT

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum, Ustadz. Di dalam shalat terkadang berseliweran pikiran-pikiran sehingga mengurangi konsentrasi shalat. Apakah yang harus dilakukan untuk mendapatkan shalat yang khusyuk dan menghilangkan pikiran-pikiran yang mengganggu dalam shalat, Ustadz?

Sandi (sandi_**@yahoo.***)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam.

Kasus semacam ini pernah dialami oleh salah seorang sahabat, yaitu Utsman bin Abil ‘Ash radhiallahu ‘anhu. Beliau datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan gangguang yang dia alami ketika shalat. Kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذاك شيطان يقال له خنزب فإذا أحسسته فتعوذ بالله منه واتفل على يسارك ثلاثاً

"Itu adalah setan. Namanya Khinzib. Jika kamu merasa diganggu, mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguannya dan meludahlah ke kiri tiga kali."

Kata Utsman, “Aku pun melakukannya, kemudian Allah menghilangkan gangguan itu dariku.” (H.r. Muslim, no. 2203)

Pelajaran hadis:

Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan –kepada kita– dua cara untuk menghilangkan gangguan setan dalam shalat:

  • Memohon perlindungan kepada Allah, dengan membaca ta’awudz (a’udzu billahi minas syaithanir rajim). Bacaan ini dilafalkan, bukan di batin. Ini hukumnya diperbolehkan dan tidak membatalkan shalat.
  • Meludah ringan ke kiri, dengan cara meniupkan udara yang mengandung sedikit air ludah. Ini diperbolehkan, dengan syarat tidak mengganggu orang yang berada di sebelah kirinya dan tidak mengotori masjid.

Allahu a’lam.

Disadur dari "Madza Taf’alu fi Halatit Taliyah" karya Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Munajjid.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

No tags for this post.

Mengapa Rokok Membatalkan Puasa dan Inhaler Tidak Membatalkan Puasa?

Posted: 29 Jul 2011 12:02 AM PDT

Pertanyaan:

Assalamu`alaikum. Saya mau tanya kepada Ustadz, yaitu mengapa rokok dinyatakan membatalkan dan inhaler tak membatalkan puasa, padahal keduanya sama-sama masuk melalui hidung dan pernapasan serta tak masuk saluran makan dan minum? Mohon penjelasan Ustadz. Jazakallah khairan.

Abu Abdullah (dwi_purbo1**@***.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam.
Rokok termasuk benda yang haram untuk dikonsumsi. Tentang hukum haramnya, tidak diragukan lagi. Orang yang merokok ketika berpuasa maka puasanya batal. Sebabnya, karena asap rokok mengandung banyak kumpulan zat yang masuk sampai ke perut dan lambung.

Syekh Muhammad bin Utsaimin ditanya tentang hukum mencium minyak wangi. Beliau menjawab, "Diperbolehkan menggunakan minyak wangi di siang hari bulan Ramadan dan boleh menciumnya, kecuali dupa. Tidak boleh menghirup bau dupa, karena asap dupa memiliki banyak zat yang bisa masuk ke lambung, dan dupa merupakan asap." (Fatawa Islamiyah, 2:128)

Asap rokok semisal dengan dupa; keduanya mengandung banyak zat. Hanya saja, keduanya berbeda hukumnya. Dupa hukumnya halal dan baik, sedangkan rokok hukumnya haram dan buruk.

Para ulama mengistilahkan merokok dengan "syurbud dukhan" (minum asap). Mereka menyebutnya dengan "syurbun" (minum). Tidak diragukan lagi bahwa asap rokok sampai ke lambung dan ke perut, sementara semua yang dimasukkan dan sampai ke perut dengan sengaja maka membatalkan puasa, baik benda itu bermanfaat maupun membahayakan. Sebagaimana ketika ada orang yang menelan biji tasbih atau potongan besi dengan sengaja, puasanya batal. Tidak disyaratkan harus makan dan minum yang membatalkan puasa harus mengenyangkan atau memberi manfaat kesehatan. Setiap yang dimasukkan ke perut dengan sengaja maka bisa dinamakan makan atau minum. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, Fatawa Shiyam, no. 203 dan 204)

Untuk hukum penggunaan inhaler bisa dilihat di alamat http://konsultasisyariah.com/penderita-asma

Disadur dari Fatwa Islam (www.islamqa.com) oleh Muhammad bin Shaleh Al-Munajid.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: , ,

Kamis, 28 Juli 2011

KonsultasiSyariah: Tidur Waktu Puasa

KonsultasiSyariah: Tidur Waktu Puasa


Tidur Waktu Puasa

Posted: 28 Jul 2011 07:30 PM PDT

Pertanyaan:

Benarkah tidur orang yang bernilai ibadah?

Jawaban:

Hadis tentang "tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah" merupakan hadis yang tidak benar. Hadis ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dari Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu ‘anhu. Hadis ini juga disebutkan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, 1:242. Teks hadisnya,

نوم الصائم عبادة ، وصمته تسبيح ، ودعاؤه مستجاب ، وعمله مضاعف

"Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya dikabulkan, dan amalnya dilipatgandakan."

Dalam sanad hadis ini terdapat perawi yang bernama Ma’ruf bin Hassan dan Sulaiman bin Amr An-Nakha’i. Setelah membawakan hadis di atas, Al-Baihaqi memberikan komentar, "Ma’ruf bin Hassan itu dhaif, sementara Sulaiman bin Amr lebih dhaif dari dia."

Dalam Takhrij Ihya’ Ulumuddin, 1:310, Imam Al-Iraqi mengatakan, "Sulaiman An-Nakha’i termasuk salah satu pendusta." Hadis ini juga dinilai dhaif oleh Imam Al-Munawi dalam kitabnya, Faidhul Qadir Syarh Jami’us Shaghir. Sementara, Al-Albani mengelompokkannya dalam kumpulan hadis dhaif (Silsilah Adh-Dhaifah), no. 4696.

Oleh karena itu, wajib bagi seluruh kaum muslimin, terutama para khatib, untuk memastikan kesahihan hadis, sebelum menisbahkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita kita boleh mengklaim suatu hadis sebagai sabda beliau, sementara beliau tidak pernah menyabdakannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memperingatkan,

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

"Sesungguhnya, berdusta atas namaku tidak sebagaimana berdusta atas nama kalian. Siapa saja yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka." (H.r. Bukhari dan Muslim)

Allahu a’lam.

Tanya-jawab ini disadur dari Fatwa Islam (http://www.islam-qa.com/ar/ref/106528) oleh Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Munajid.

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: ,

Junub di Waktu Subuh Bulan Ramadan

Posted: 28 Jul 2011 03:01 PM PDT

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum, Ustadz. Jam berapakah/berapa menitkah sebelum imsak (kita boleh berada dalam keadaan) junub? Apakah sebelum sahur kita diwajibkan mandi junub?

Syahrial Samosir (**samosir@yahoo.***)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah.

Suci dari hadas besar bukan termasuk syarat sah . Karena itu, ketika seseorang mengalami junub di malam hari, baik karena mimpi basah atau sehabis melakukan hubungan badan, kemudian sampai masuk waktu subuh dia belum mandi wajib, puasanya tetap sah. Dalilnya:

Dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiallahu ‘anhuma; mereka menceritakan,

كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki waktu subuh, sementara beliau sedang junub karena berhubungan dengan istrinya. Kemudian, beliau mandi dan berpuasa.” (H.r. Bukhari dan Turmudzi)

Catatan:

Orang yang junub dan telat bangun, sehingga kesempatannya hanya terbatas antara untuk mandi atau untuk sahur, manakah yang lebih diutamakan?

Jawab: Sebaiknya lebih mengutamakan sahur karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk sahur, sehingga orang yang makan sahur bisa mendapatkan pahala khusus. Sementara, mandi junub bisa ditunda sampai masuk waktu subuh.

Namun ingat, sebelum makan harus berwudhu terlebih dahulu. Ini berdasarkan hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau mengatakan,

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا كان جنبا فأراد أن يأكل أو ينام توضأ وضوءه للصلاة

Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam kondisi junub, kemudian beliau ingin makan atau tidur, beliau berwudhu sebagaimana wudhu ketika hendak shalat.” (H.r. Muslim, no. 305)

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: ,

Berendam saat Puasa

Posted: 28 Jul 2011 01:41 AM PDT

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya mendinginkan diri (berendam) bagi orang yang berpuasa?

Jawaban:

Mendinginkan diri (berendam) bagi orang yang berpuasa hukumnya boleh, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyiram kepalanya dengan air karena panas atau dahaga ketika beliau berpuasa. Ibnu Umar pernah membasahi pakaiannya dengan air ketika dia berpuasa untuk meringankan panas atau dahaga yang sangat. Berendam tidak membatalkan , karena airnya tidak sampai masuk ke dalam perut.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

No tags for this post.

Menelan Ludah Saat Puasa

Posted: 27 Jul 2011 11:50 PM PDT

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum. Ustadz, ada yang ingin saya tanyakan seputar ; bagaimana hukumnya menelan ludah ketika sedang berpuasa? Apakah membatalkan kita atau bagaimana hukumnya? Demikian pertanyaan saya. Wassalamu ‘alaikum.

Mutholib (tholib**@yahoo.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah.

Menelan ludah tidak membatalkan puasa, meskipun banyak atau sering dilakukan ketika di masjid dan tempat-tempat lainnya. Akan tetapi, jika berupa dahak yang kental maka sebaiknya tidak ditelan, tetapi diludahkan. (Fatwa Lajnah Daimah, volume 10, hlm. 270)

Jika ada yang bertanya, “Bolehkah menelan dahak dengan sengaja?” maka jawabannya: tidak boleh menelan dahak, baik bagi yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa, karena dahak adalah benda kotor. Bahkan, bisa jadi membawa penyakit hasil metabolisme tubuh. Akan tetapi, menelan dahak tidak membatalkan puasa, selama belum diludahkan. Menelan dahak juga tidak bisa dinamakan makan maupun minum. Jika ada orang yang menelannya, padahal dahak sudah berada di mulut, hal ini pun tidak membatalkan puasanya. Demikian penjelasan Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin di Asy-Syarhul Mumti’, 6:428.

Jawaban diterjemahkan oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah) dari www.islamqa.com.

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: ,

Rabu, 27 Juli 2011

KonsultasiSyariah: Ukuran Fidyah

KonsultasiSyariah: Ukuran Fidyah


Ukuran Fidyah

Posted: 27 Jul 2011 03:16 PM PDT

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum. Afwan, Ustadz. Saya mau tanya; besaran fidyah itu bagaimana? 1 orang atau bagaimana? Terus, untuk makananan di sini seperti apa? Syukran wajazakallahu khairan.

Ichal (ichal_**@yahoo.***)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin mengatakan,

Cara membayar fidyah dengan memberikan makanan kepada orang miskin ada dua:

Pertama, dengan dibuatkan makanan (siap saji), kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari yang ditinggalkan, sebagaimana yang dilakukan Anas bin Malik radliallahu ‘anhu ketika di sudah tua.

Kedua, memberi bahan makanan kepada mereka yang belum dimasak. Para ulama mengatakan: besarnya: 1 mud (0,75 kg) untuk gandum atau setengah sha’ (2 mud = 1,5 kg) untuk selain gandum….. akan tetapi, untuk pembayaran fidyah model kedua ini, selayaknya diberikan dengan sekaligus lauknya, baik daging atau yang lainnya. Sehingga bisa memenuhi makna teks ayat, dalam firman Allah:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

"Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184)

Adapun waktu pembayaran fidyah, ada kelonggaran. Dia boleh membayarkan fidyahnya setiap hari satu-satu (dibayarkan di waktu maghrib di hari puasa yang ditinggalkan). Dia juga dibolehkan mengakhirkan pembayaran sampai selesai , sebagaimana yang dilakukan Anas bin Malik radliallahu ‘anhu.
(As-Syarhul Mumthi’, 6:207)

Dalilnya:

عن مالك عن نافع أن ابن عمر سئل عن المرءة الحامل إذا خافت على ولدها، فقال: تفطر و تطعم مكان كل يوم مسكينا مدا من حنطة

Dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya (jika puasa). Beliau menjawab, “Dia boleh berbuka dan memberi makan orang miskin dengan satu mud gandum halus sebanyak hari yang dia tinggalkan.” (H.r. Al-Baihaqi dari jalur Imam Syafi’i dan sanadnya sahih)

عَن أَنَس بنِ مَالِك رضي الله عنه أَنَّه ضَعُف عَن الصَّومِ عَامًا فَصَنَع جفنَةَ ثَريدٍ ودَعَا ثَلاثِين مِسكِينًا فَأشبَعَهُم

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa ketika dirinya sudah tidak mampu puasa setahun, beliau membuat adonan tepung dan mengundang 30 orang miskin, kemudian beliau kenyangkan mereka semua. (H.r. Ad-Daruquthni; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: ,

Hukum Memakai Alat Bantu Pernafasan Bagi Orang Berpuasa

Posted: 26 Jul 2011 10:38 PM PDT

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya memakai alat bantu pernafasan bagi orang yang , apakah hal itu membatalkan ?

Jawaban:

Memakai alat bantu pernafasan hanya berupa udara dan tidak sampai ke perut, maka menurut pendapat kami hukumnya boleh. Jika Anda memakai alat bantu pernafasan itu ketika sedang berpuasa, tidak perlu berbuka karenanya. Alasannya, seperti yang kami katakan, tidak masuk sesuatu ke dalam perut, karena yang disemprotkan oleh alat itu adalah sesuatu yang terbang, barasap dan hilang, sehingga apa yang dihirup tidak masuk ke dalam perut. Maka, boleh hukumnya menggunakan alat itu ketika Anda berpuasa dan tidak membatalkan puasa Anda karenanya.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 200

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

No tags for this post.

Selasa, 26 Juli 2011

KonsultasiSyariah: Hukum Mencium Bau Wangi Bagi Orang yang Berpuasa

KonsultasiSyariah: Hukum Mencium Bau Wangi Bagi Orang yang Berpuasa


Hukum Mencium Bau Wangi Bagi Orang yang Berpuasa

Posted: 26 Jul 2011 07:29 PM PDT

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya mencium bau wangi bagi orang yang berpuasa?

Jawaban:

Mencium bau wangi tidak membatalkan baik minyak maupun asap kayu gaharu. Tetapi jika yang dicium adalah asap kayu gaharu, maka dia tidak boleh menghirup asapnya secara langsung, karena pada asap itu ada jisim yang bisa masuk ke dalam perut sehingga membatalkan, seperti air dan sebagainya. Adapun jika hanya sekadar menciumnya saja tanpa menghirupnya sehingga tidak sampai ke perut, maka hukumnya boleh.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait:

Mimpi Menjelang Subuh

Posted: 26 Jul 2011 03:00 PM PDT

Pertanyaan:

Ustadz, apakah jika kita bermimpi pada saat menjelang subuh itu ada maknanya atau tidak? Beberapa bulan yang lalu, saya bermimpi ada yang berbicara pada saya tapi tidak ada orangnya, yang terdengar hanya suaranya. Apakah benar kalau yang berbicara itu adalah malaikat? Terima kasih, Ustadz.

Ray G. (ray_mundo**@***.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah.

Bismillah.

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan bahwa mimpi ada tiga macam:

  1. Karena pengaruh emosi dan kondisi jiwa (حديث النفس);
  2. Godaan setan (تخويف الشيطان);
  3. Kabar gembira dari Allah (بشرى من الله).

Kita tidak bisa memastikan bahwa mimpi tersebut termasuk kabar gembira dari Allah karena yang semacam ini termasuk masalah gaib. Dengan demikian, bisa jadi, mimpi tersebut hanyalah bawaan perasaan atau godaan setan. Namun, tentang mimpi pada saat menjelang subuh, kami berprasangka bahwa itu dari setan, agar orang yang bermimpi akan menikmati mimpinya, sehingga tidak bangun untuk tahajud.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

No tags for this post.

Bersetubuh di Siang hari Ramadhan Ketika Safar

Posted: 25 Jul 2011 11:25 PM PDT

Pertanyaan:

Seorang laki-laki musafir dibolehkan tidak berpuasa pada bulan . Jika ia menyetubuhi istrinya yang sedang berpuasa, apakah ada kaffarah -(tebusan)nya? Dan bagaimana menebusnya jika si istri dipaksa oleh suaminya?

Jawaban:

Menurut saya tidak ada kaffarah atasnya jika ia memang musafir yang jarak tempuhnya membolehkannya berbuka (tidak berpuasa), karena ia memang dibolehkan makan di siang Ramadhan, maka ia pun dibolehkan menggauli istrinya. Jika si istri sedang berpuasa, maka ia boleh berbuka karena hal tersebut, apalagi jika memang itu dipaksa oleh suaminya. Maka, menurut saya itu tidak berdosa dan tidak ada kaffarah atasnya. Hanya Allah-lah yang mampu memberi petunjuk.

Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa ash-Shiyam, dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnad, hal. 41.

Sumber: Fatwa-Fatwa Terkini, Jilid 1, Darul Haq, Cetakan VI, 2009
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: , , ,

Hukum Berpuasa Bulan Sya’ban

Posted: 25 Jul 2011 11:13 PM PDT

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya berpuasa pada bulan Sya’ban?

Jawaban:

Berpuasa pada bulan Sya’ban hukumnya sunnah dan memperbanyak di dalamnya juga termasuk sunnah, hingga Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, "Saya tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa daripada di bulan Sya’ban." Berdasarkan hadits ini, kita harus memperbanyak puasa di bulan Sya’ban.

Ahlul ilmi berkata, "Puasa di bulan Sya’ban seperti shalat sunnah Rawatib bila dibandingkan dengan shalat wajib, dan puasa bulan Sya’ban seakan-akan menjadi muqaddimah bagi puasa atau sunnah Rawatib-nya bulan . Maka dari itu, disunnahkannya puasa di bulan Sya’ban dan puasa enam hari pada bulan Syawwal diibaratkan seperti shalat Rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu. Puasa bulan Sya’ban mempunyai faidah lain yaitu menenangkan jiwa dan mempersiapkan diri untuk berpuasa di bulan Ramadhan, sehingga ketika memasuki bulan Ramadhan seseorang sudah siap dan mudah melaksanakannya."

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: , , ,

Senin, 25 Juli 2011

KonsultasiSyariah: Apakah Debu Membatalkan Puasa

KonsultasiSyariah: Apakah Debu Membatalkan Puasa


Apakah Debu Membatalkan Puasa

Posted: 25 Jul 2011 08:03 PM PDT

Pertanyaan:

Apakah debu membatalkan puasa? Dan apakah inhaler yang biasa digunakan oleh para penderita penyakit asma juga membatalkan puasa?

Jawaban:

Debu tidak membatalkan puasa, walau orang yang sedang berpuasa diperintahkan untuk melindungi diri darinya. Demikian juga inhaler yang biasa digunakan oleh para penderita penyakit asma tidak membatalkan puasa, karena tidak berbentuk, bahkan prosesnya itu hanya masuk dan keluar melalui saluran pernafasan, bukan melalui saluran makan dan minum.

Syaikh Ibnu Jibrin, Fatawa ash-Shiyam, disusun oleh Rasyid az-Zahrani, hal. 49.

Sumber: Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, Darul Haq, Cetakan VI, 2009.
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait:

Batas Shalat Ketika Hendak Melahirkan

Posted: 25 Jul 2011 03:00 PM PDT

Pertanyaan:

Bismillah. Ustadz, hukum shalat wanita yang sedang dalam kondisi hampir melahirkan, di mana ia sudah tidak berdaya karena sakitnya proses persalinan sementara sudah masuk waktu shalat? Apakah ia sudah dihukumi nifas atau wajib meng-qadha shalatnya pada waktu selesai nifasnya? Jazakumullahu khairan.

Umi Saad (**saad@***.com)

Jawaban:

Bismillah.

Tentang darah yang keluar beberapa saat sebelum melahirkan, dirinci menjadi dua.

  1. Jika keluarnya darah tersebut disertai dengan sakitnya kontraksi karena proses pembukaan maka darah adalah darah nifas.
  2. Jika keluarnya darah tersebut tidak disertai dengan kontraksi maka darah itu bukan nifas, tetapi istihadah.

Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin menerangkan bahwa Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Darah yang dilihat wanita ketika mulai berkontraksi itu berstatu sebagai darah nifas. Yang dimaksud “kontraksi” adalah ‘proses pembukaan yang merupakan tahapan proses melahirkan’. Jika tidak disertai kondisi semacam ini maka bukan nifas.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibni Utsaimin, 4:328)

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait:

Arisan Plus Yasinan

Posted: 25 Jul 2011 12:36 AM PDT

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ustadz. Saya mengikuti bulanan dengan rekan-rekan sekantor dan diadakan di rumah-rumah secara bergiliran. Di setiap tersebut, diadakan yasinan. Saya tidak ikut yasinan tetapi hanya menyimak. Beberapa waktu lagi, acara tersebut akan diadakan di rumah saya. Saya sedang bingung karena saya tidak berkeinginan ada yasinan di rumah saya. Namun, apa yang mesti saya lakukan dalam mengisi acara tersebut. Mohon saran Ustadz. Jazakumullahu khairan katsira atas waktu luangnya.

NN

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Sisi bid’ah acara yasinan:

  • Membaca yasin bersama dan diseragamkan.
  • Hanya memilih Yasin dan tidak surat lainnya. Dengan keyakinan, adanya fadhilah khusus surat Yasin, padahal hadisnya dhaif.

Jika dua ini bisa dihilangkan, insya Allah, tidak menjadi masalah. Sebagai saran, Anda bisa mengundang Ustadz, dan diganti kajian tafsir surat Yasin, untuk kesempatan arisan di rumah Anda.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: , , , , , ,

Minggu, 24 Juli 2011

Konsultasi Syariah: Akikah untuk Janin Keguguran

Konsultasi Syariah: Akikah untuk Janin Keguguran


Akikah untuk Janin Keguguran

Posted: 24 Jul 2011 06:59 PM PDT

Pertanyaan:

Hal-hal apa saja yang dilakukan terhadap janin yang meninggal usia 5 bulan? Apa perlu diakikahi dan dinamai?

Arizal (ary01**@yahoo.com)

Jawaban:

Bismillah.

Ulama berselisih pendapat tentang hukum akikah untuk bayi keguguran, apakah disyariatkan ataukah tidak. Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah disyariatkannya memberikan akikah untuk janin keguguran, jika usia janin telah mencapai empat bulan karena ruh ditiupkan ketika janin telah genap berusia empat bulan.

Faqihul Madinah, Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Janin yang (meninggal dengan sebab) keguguran sebelum berusia empat bulan tidak perlu diakikahi, tidak diberi nama, … sedangkan janin yang (meninggal dengan sebab) keguguran setelah empat bulan –berarti telah ditiupkan ruh– maka dia dimandikan, diberi nama, … dan diberi akikah, menurut pendapat yang kami anggap lebih kuat. Hanya saja, sebagian ulama mengatakan, ‘Tidak ada akikah untuk bayi, kecuali jika dia hidup sampai hari ketujuh setelah dilahirkan.’ Namun, yang benar, janin ini diberi akikah karena dia akan dibangkitkan pada hari kiamat, sehingga bisa menjadi penolong bagi orang tuanya.” (Liqa’at Bab Maftuh, no. 653)

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Sabtu, 23 Juli 2011

Tegar Di Atas Sunnah

Tegar Di Atas Sunnah


Tambahan ‘Aqimis Shalah’ Ketika Khutbah Jumat

Posted: 23 Jul 2011 05:00 PM PDT

يقول الشيخ العلامة ابن
عثيمين رحمه الله
لا أعلم هذا واردا عن السلف أعني قول الخطيب إذا انتهي من الخطبة أقم الصلاة إن الصلاة تنهي عن الفحشاء والمنكر

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, "Aku tidak mengetahui riwayat dari para ulama salaf mengenai hal ini. Yaitu mengenai ucapan khatib jumat jika telah selesai menyampaikan khutbah “Aqimish shalah innas shalata tanha 'anil fahsya' wal munkar”- Tegakkan shalat sungguh shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar-.

وعلى هذا فلا ينبغي للإمام أن يقولها ولكن إذا انتهى من الخطبة نزل ثم أقيمت الصلاة كما كان النبي عليه الصلاة والسلام يفعله وكذلك خلفاؤه الراشدون

Menimbang hal tersebut, tidak sepatutnya bagi seorang khatib Jumat untuk mengucapkan kalimat tersebut.
Akan tetapi jika khutbah jumat sudah selesai khatib bisa langsung turun kemudian iqomah dikumandangkan. Demikianlah yang dilakukan oleh Nabi dan para khulafaur rasyidin.

وأما هذه الزيادة التي لم ترد عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا عن الخلفاء الراشدين ولا قالها أحد من الأئمة فإنه ينهى عنها.

Adapun ucapan tambahan tersebut yang tidak ada dalilnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, khulafaur rasyidin atau keterangan dari satu pun ulama maka tambahan tersebut adalah tambahan yang terlarang".

Sumber:

http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_3461.shtml

Artikel www.ustadzaris.com

Artikel Terkait

Konsultasi Syariah: Puasa Bagi Wanita Bersih dari Haid Sebelum Fajar

Konsultasi Syariah: Puasa Bagi Wanita Bersih dari Haid Sebelum Fajar


Puasa Bagi Wanita Bersih dari Haid Sebelum Fajar

Posted: 23 Jul 2011 02:34 AM PDT

Pertanyaan:

Ada seorang wanita yang haidnya telah berhenti sebelum fajar tetapi dia baru mandi setelah terbit fajar, bagaimana hukum puasanya?

Jawaban:

Puasanya sah jika dia yakin telah suci sebelum terbit fajar. Yang penting dia yakin bahwa dirinya suci, karena sebagian mengira bahwa dirinya telah suci tapi ternyata belum. Maka dari itu, ada seorang wanita datang kepada Aisyah dengan membawa kapas, lalu memperlihatkan kepadanya tanda-tanda kesucian. Aisyah berkata kepadanya, "Janganlah tergesa-gesa hingga kamu melihat kapas itu putih." Maka, wanita itu harus berhati-hati hingga dia yakin bahwa dia telah suci. Jika dia telah suci, maka dia boleh berniat puasa walaupun belum mandi, kecuali setelah terbit fajar. Tetapi dia juga harus memperhatikan shalat, sehingga dia segera mandi dan mengerjakan shalat Subuh pada waktunya.

Kami pernah mendengar, ada sebagian wanita yang telah suci setelah terbit fajar atau sebelumnya, tetapi dia tidak segera mandi hingga setelah matahari terbit dengan alasan bahwa dia ingin mandi dengan sempurna, lebih bersih dan lebih suci. Cara semacam ini salah, baik di bulan Ramadhan, maupun di luar Ramadhan, karena yang wajib dilakukannya adalah segera mandi dan shalat pada waktunya. Dia harus segera mandi wajib agar bisa melaksankan shalat. Jika dia ingin lebih bertambah suci dan bersih setelah matahari terbit, maka dia bisa mandi lagi setelah itu.

Seperti wanita haid ini, jika ada wanita junub dan belum mandi kecuali setelah terbit fajar, maka tidak apa-apa dan puasanya sah. Begitu juga seorang laki-laki yang junub dan belum mandi kecuali setelah terbit fajar dan dia puasa, maka hukumnya boleh, karena dijelaskan dalam sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwas beliau menemui waktu fajar dalam keadaan junub karena menggauli isterinya, lalu beliau puasa dan mandi setelah terbit fajar (HR. al-Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Jumat, 22 Juli 2011

Konsultasi Syariah: Fatwa untuk Penderita Asma di Bulan Ramadan

Konsultasi Syariah: Fatwa untuk Penderita Asma di Bulan Ramadan


Fatwa untuk Penderita Asma di Bulan Ramadan

Posted: 22 Jul 2011 09:29 PM PDT

Pertanyaan:

Assalamu `alaikum. Saya penderita asma yang kronis dan mengisap obat hisap Birotex antara 3-6 jam. Pertanyaan: Bagaimana saya akan melaksanakan ibadah puasa? Apakah batal bila saya saat berpuasa mengisap obat isap tersebut? Umur saya 62 tahun. Wassalamu `alaikum.

Suhairi (**suhairi@***.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Lajnah Daimah (Komite Tetap untuk Fatwa dan Penelitian Islam Arab Saudi) pernah ditanya tentang hukum menggunakan obat asma dengan cara dihirup. Apakah bisa membatalkan puasa?

Mereka menjawab, “Obat asma yang digunakan oleh orang sakit dengan cara diisap itu menuju paru-paru melalui tenggorokan, bukan menuju lambung. Karena itu, tidak bisa disebut ‘makan’ atau ‘minum’, dan tidak pula disamakan dengan makan dan minum. Akan tetapi, ini mirip dengan obat yang dimasukkan melalui uretra (saluran kencing), atau obat yang dimasukkan pada luka mendalam di kepala atau perut, atau mirip dengan celak atau enema (memasukkan obat melalui anus), atau tindakan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh dengan cara lainnya, yang tidak melalui mulut atau hidung.

Semua tindakan ini diperselisihkan para ulama, apakah termasuk pembatal puasa ataukah tidak. Ada yang berpendapat bahwa semua itu bisa membatalkan puasa, ada yang berpendapat bahwa sebagiannya membatalkan dan sebagian tidak, dan ada juga yang berpendapat bahwa semua itu tidak membatalkan puasa. Hanya saja, semua ulama sepakat bahwa penggunaan obat dan tindakan semacam ini tidak bisa disamakan dengan makan maupun minum.

Meski demikian, ulama yang berpendapat bahwa penggunaan obat tersebut termasuk pembatal shalat menganggap semua penggunaan obat tersebut dihukumi seperti orang makan karena sama-sama memasukkan sesuatu sampai perut dengan sengaja. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صائماً

"Bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air ke dalam hidung (ketika wudhu), kecuali jika kamu berpuasa."

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecualikan bagi orang yang berpuasa, agar tidak bersungguh-sungguh dalam menghirup air ke dalam hidung (ketika wudhu) sehingga puasanya batal. Ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dimasukkan ke perut dengan sengaja bisa membatalkan puasa.

Adapun ulama yang berpendapat bahwa penggunaan semacam ini tidak membatalkan puasa, seperti Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama lainnya yang sepakat dengan pendapat beliau, beralasan bahwa analogi semua tindakan di atas dengan makan dan minum adalah analogi yang tidak tepat karena tidak ada dalil yang menegaskan bahwa di antara pembatal puasa adalah segala sesuatu yang masuk sampai ke badan atau ke perut.

Mengingat tidak ada dalil yang menyatakan bahwa setiap hal yang masuk ke badan bisa membatalkan puasa …. Karena itu, pendapat yang lebih kuat: penggunaan obat asma dengan diisap tidak termasuk pembatal puasa karena penggunaan obat ini tidak termasuk makan maupun minum, dengan alasan apa pun. Allahu a’lam.” (Sumber: Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, vol. 3, hlm. 365)

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.konsultasisyariah.com

Cara Membayar Kafarat Puasa

Posted: 22 Jul 2011 03:12 PM PDT

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum. Ustadz, saya pernah melakukan dosa di Bulan Ramahan, yaitu bersetubuh dengan istri di siang hari bulan Ramadan. Saya dan istri saya menyesal dan ingin bertobat. Sebentar lagi bulan Ramadan tiba, tapi saya belum membayar kafarat 60 hari puasa berturut-turut. Apakah boleh saya bayar kafarat puasa tersebut sekarang juga, tetapi itu akan terpotong puasa Ramadan, dan apakah boleh dilanjutkan setelah bulan Ramadan sisa kafaratnya berturut-turut hingga 60 hari?

Kemudian saya ingin bertanya, ketika istri saya ingin membayar kafarat puasa lalu haid, bolehkah dilanjutkan puasa kafaratnya setelah suci, tanpa harus mengulangi hitungan puasa dari awal?

Terima kasih atas jawaban dan perhatiannya. Semoga Allah mengampuni dosaku dan istriku. Jazakallahu khairan, Ustadz.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Hamba Abdillah (hamba**@***.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam.

Semoga Allah mengampuni kesalahan Anda.

Dua bulan itu harus berturut-turut. Jadi, hanya bisa Anda lakukan setelah Ramadan tahun ini berakhir, agar puasa Anda tidak diselingi bulan Ramadan.

Untuk istri Anda, haid adalah uzur syar’i, sehingga hitungan puasa kafarah tidaklah diulang dari awal karenanya.

Wallahu waliyyut taufiq.

Dijawab oleh Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A. (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.konsultasisyariah.com

Hukum Mengucapkan Salam Ketika Masuk Masjid

Posted: 22 Jul 2011 12:26 AM PDT

Syekh 'Abdul Karim Khudair ditanya, “Sebagian orang ketika memasuki masjid selalu mengucapkan salam. Padahal, ada orang-orang yang sibuk beribadah, ada yang sedang shalat, dan ada yang sedang baca Alquran. Apakah boleh mengucapkan salam kala itu? Lalu, bagaimana orang-orang yang sedang duduk tadi membalasnya?”

Beliau hafizhahullah menanggapinya, “Jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam disalami ketika sedang shalat, beliau membalas salam tersebut dengan memberi isyarat. Ini menunjukkan bahwa orang yang masuk kala itu, mengucapkan salam. Oleh karena itu, orang yang sedang baca Alquran diperintahkan untuk membalasnya, demikian pula dengan yang sedang duduk. Adapun orang yang sedang shalat, dia juga membalasnya dengan isyarat.” (Sumber: http://www.khudheir.com/text/4086)

Terdapat hadis yang dikeluarkan oleh Abu Daud, no. 927 dan At-Tirmidzi, no. 368, dari hadis Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhuma disebutkan,

قُلْتُ لِبِلَالٍ كَيْفَ كَانَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِينَ كَانُوا يُسَلِّمُونَ عَلَيْهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ؟ قَالَ: كَانَ يُشِيرُ بِيَدِهِ

"Aku bertanya pada Bilal, ‘Bagaimanakah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab salam sedangkan saat itu beliau sedang shalat lalu disalami?’ Ia menjawab, ‘Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membalasnya dengan berisyarat dengan tangannya.’" [1]

Kebiasaan memberi salam pada jemaah atau ketika masuk masjid sering kami temukan di setiap masjid saat shalat.

 

Artikel www.rumaysho.com

Dipublikasikan ulang oleh www.KonsultasiSyariah.com, disertai penyuntingan bahasa.

___________
[1] أخرجه أبو داود: (927) والترمذي: (368) من حديث عبد الله بن عمر -رضي الله عنه- وفيه: (قُلْتُ لِبِلَالٍ كَيْفَ كَانَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِينَ كَانُوا يُسَلِّمُونَ عَلَيْهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ؟ قَالَ: كَانَ يُشِيرُ بِيَدِهِ).

Shaum dan Berbuka Mengikuti Negeri Tempat Tinggal Seseorang

Posted: 22 Jul 2011 12:00 AM PDT

Pertanyaan:

Saya berasal dari Timur Asia, bulan Hijriyah di tempat kami terlambat satu hari dari Arab Saudi. Kami adalah mahasiswa yang akan melakukan safar di bulan Ramadhan tahun ini, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Shaum-lah karena melihat hilal (masuk bulan), dan berbukalah karena melihat hilal…" dan seterusnya. Kami telah memulai shaum di Saudi, kemudian safar di bulan Ramadhan hingga penghabisan bulan, sehingga kami shaum selama tiga puluh satu hari. Pertanyaan saya, bagaimana hukum shiyam kami tersebut dan berapa hari mestinya kami harus shaum?

Jawaban:

Jika Anda shaum di Saudi atau yang lain, kemudian Anda shaum di negeri Anda, maka berbukalah bersama penduduk di sana, meskipun jumlahnya lebih dari tiga puluh hari. Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ

"Shaum adalah hari di mana kalian shaum dan waktu berbuka adalah hari kalian berbuka.”

Akan tetapi jika shaum kalian belum genap 29 hari, maka hendaknya menyempurnakan (menambahnya), karena tidak ada bulan yang kurang dari 29 hari. Wallahu waliyut taufiq.

Sumber: Fatawa Syaikh Bin Baaz Jilid 1, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
Artikel www.KonsultasiSyariah.com