Rabu, 31 Agustus 2011

KonsultasiSyariah: Shalat di Rumah Orang Nasrani

KonsultasiSyariah: Shalat di Rumah Orang Nasrani


Shalat di Rumah Orang Nasrani

Posted: 31 Aug 2011 06:00 PM PDT

Hukum di rumah orang nasrani

Ustadz, istri saya adalah seorang mualaf yang sebelumnya beragama Katolik. Kedua orang tua istri saya masih beragama Katolik, dan sudah tentu di rumah orang tua istri saya  banyak terdapat salib.

Bagaimana hukum shalat di rumah mertua saya yang ada banyak salibnya?  Apakah shalatnya sah atau tidak, karena saya pernah membaca sebuah hadis yang menyatakan bahwa malaikat tidak akan masuk kedalam rumah yang ada gambar dan anjing. Apakah hadis ini ada kesesuain dengan keadaan shalat di rumah yang ada salibnya lalu malaikat tidak akan masuk ke rumah tersebut?

Abu Ilyas Al-Atsary (**corner@***.com)

Jawaban:

Shalat di tempat yang di dalamnya terdapat salib tetap sah karena tidak ada dalil kusus yang melarang hal tersebut. Namun, perlu diperhatikan hal-hal berikut:

  1. Untuk laki-laki, hendaknya dia shalat berjemaah di masjid.
  2. Seandainya “terpaksa” shalat di tempat yang di dalamnya terdapat salib maka carilah tempat yang terjauh dari salib tersebut atau di tempat salib-salib tersebut tidak terlihat.

Adapun hadis yang mengatakan bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah yang ada gambar dan anjingnya maka hadis itu tidak dapat dijadikan dalil untuk melarang shalat di tempat yang di dalamnya terdapat salib.

Dijawab oleh Ustadz Firanda, Lc. (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Menjawab Ucapan Selamat di Hari Raya

Posted: 31 Aug 2011 05:30 AM PDT

Cara menjawab

Jika kita mendapatkan ucapan dari orang lain, “Taqabbalallahu minna wa minkum,” bagaimana cara menjawabnya?

Jawaban:

Allah berfirman,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Jika kalian diberi salam dalam bentuk apa pun maka balaslah dengan salam yang lebih baik atau jawablah dengan yang semisal ….” (Q.s. An-Nisa’:86)

Syekh As-Sa’di mengatakan, “Termasuk (kewajiban) menjawab salam adalah (memberikan jawaban) untuk semua salam yang menjadi kebiasaan di masyarakat, dan itu adalah salam yang tidak terlarang. Semuanya wajib dijawab dengan yang semisal atau yang lebih baik.” (Taisir Karimir Rahman, tafsir untuk surat An-Nisa’:86)

Berikut ini beberapa keterangan dari para ulama menjawab ucapan selamat idul fitri

  1. Dari Habib bin Umar Al-Anshari; bapaknya bercerita kepadanya bahwa beliau bertemu dengan –shahabat– Watsilah radhiallahu ‘anhu ketika hari raya, maka aku ucapkan kepadanya, “Taqabbalallahu minna wa minkum,” kemudian beliau (Watsilah) menjawab, “Taqabbalallahu minna wa minkum.” (H.r. Ad-Daruquthni dalam Mu’jam Al-Kabir)
  2. Dari Adham, mantan budak Umar bin Abdul Aziz; beliau mengatakan, “Ketika hari raya, kami menyampaikan ucapan kepada Umar bin Abdul Aziz, ‘Taqabbalallahu minna wa minkum, wahai Amirul Mukminin.’ Maka beliau pun menjawab dengan ucapan yang sama dan beliau tidak mengingkarinya.” (H.r. Al-Baihaqi)
  3. Dari Syu’bah bin Al-Hajjaj; beliau mengatakan, “Saya bertemu dengan Yunus bin Ubaid, dan saya sampaikan, ‘Taqabbalallahu minna wa minka.’ Kemudian beliau jawab dengan ucapan yang sama.” (H.r. Ad-Daruquthni dalam Ad-Du’a)

Allahu a’lam.

Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: kado ucapan, lebaran 2011, ucapan id, ucapan lebaran, idul fitri 2011

Puasa Syawal dan Niatnya

Posted: 31 Aug 2011 02:09 AM PDT

Tata cara niat

Bagaimana cara niat puasa ?

Jawaban:

Niat Puasa Syawal

Alhamdulillah, wash-shalatu wassalamu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, wa ba’du ….

Permasalahan ini diperselisihkan oleh ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa tidak wajib berniat di malam hari untuk puasa sunah, baik puasa sunah mutlak maupun terkait hari tertentu. Pendapat ini berdasarkan hadis Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan, “Rasulullah menemuiku pada suatu pagi, kemudian beliau bertanya, ‘Apakah kalian memiliki suatu makanan?’ Aisyah mengatakan, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Jika demikian, aku puasa.’ Di kesempatan hari yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami (Aisyah). Kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, kami diberi hadiah hais (adonan).’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta, ‘Tunjukkan kepadaku, karena tadi pagi aku berniat puasa.’" (H.r. Muslim, no. 1154)

Dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam "jika demikian, saya puasa" bisa dipahami bahwa beliau belum berniat untuk puasa di malam hari.

Sebagian ulama berpendapat –seperti: Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah– bahwa diwajibkan untuk berniat di malam hari untuk puasa “tertentu” [1], seperti: puasa enam hari bulan Syawal, hari Arafah, Asyura, atau puasa “tertentu” lainnya. Jika ada orang yang melakukan puasa setengah hari (karena dia baru berniat di siang hari), dia tidak dianggap telah melaksanakan puasa satu hari penuh di hari itu [2]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan pahala untuk puasa enam hari (di bulan Syawal, ed.) secara penuh.

Di samping itu, dijelaskan oleh beberapa ulama bahwa pahala puasa dicatat sejak mulai berniat. Dengan demikian, jika niat puasanya dimulai tidak dari awal hari –yaitu sejak terbit fajar– maka pahalanya kurang, sehingga dia tidak mendapatkan pahala yang dijanjikan untuk puasa enam hari ini.

Oleh karena itu, jika ada orang yang mengawali puasa sunah tertentu di siang hari maka puasanya tidak bisa dinilai sebagai puasa sunah tertentu. Namun, hanya puasa sunah mutlak [3]. Artinya, dia hanya mendapat pahala puasa sunah mutlak. Inilah pendapat yang lebih kuat menurutku. Allahu a’lam. (Sumber: http://www.islamtoday.net/questions/…t.cfm?id=93957)

Uraian di atas adalah keterangan dari Syekh Dr. Khalid Al-Musyaiqih. Beliau adalah salah satu pengajar di Universitas Al-Qasim. Beliau merupakan murid Syekh Ibnu Utsaimin dan Syekh Abdullah Al-Qar’awi. Saat ini, beliau aktif meneliti dan memberikan catatan kaki untuk kitab-kitab para ulama.

*

Catatan kaki:

[1] Puasa sunah ada dua:

  1. Puasa sunah mu’ayyan (tertentu), yaitu puasa sunah yang terkait dengan hari atau tanggal tertentu, seperti: puasa Senin-Kamis, puasa Arafah, dan puasa 6 hari di bulan Syawal.
  2. Puasa sunah mutlak, yaitu puasa sunah yang tidak terkait dengan hari atau tanggal tertentu. Karena itu, tidak ada batasan waktu maupun jumlah. Puasa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadis Aisyah di atas adalah contoh puasa sunah mutlak.

[2] Jika ada orang yang berniat puasa sunah di siang hari maka dia mulai dihitung berpuasa sejak dia berniat puasa. Adapun sebelum itu, dia belum berniat sehingga tidak dianggap menjalankan ibadah, meskipun belum makan atau minum. Dengan demikian, ketika ada orang yang berniat puasa Senin setelah jam 9.00 maka dia baru dianggap puasa sejak jam 9.00. Apakah orang ini telah dianggap melaksanakan puasa sunah hari Senin? Jawabannya, orang ini tidak dianggap telah berpuasa sunah hari Senin karena dia tidak melaksanakan puasa Senin sejak awal, tetapi baru mulai sejak jam 9.00. Allahu a’lam.

[3] Misalnya: seseorang mulai berniat puasa Kamis sejak jam 10.00, maka dia baru dihitung berpuasa hari Kamis sejak jam 10.00. Dengan demikian, dia tidak dianggap telah melaksanakan puasa sunah hari Kamis sehingga dia hanya mendapatkan pahala puasa mutlak, tetapi tidak mendapatkan pahala puasa sunah hari Kamis. Allahu a’lam.

Keterangan tambahan:

Tidak ada lafal niat khusus untuk puasa Syawal. Seseorang yang sudah memiliki keinginan untuk puasa Syawal di malam hari itu sudah dianggap berniat, karena inti niat adalah keinginan dan bermaksud. Lebih dari itu, melafalkan niat adalah satu perbuatan yang tidak pernah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: syawal, sunnah puasa, puasa syawaql, puasa sunnah, amalan sesudah ramadhan

Selasa, 30 Agustus 2011

KonsultasiSyariah: Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H

KonsultasiSyariah: Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H


Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H

Posted: 30 Aug 2011 03:34 AM PDT

KonsultasiSyariah.com mengucapkan

Hari Raya 1432 H

Taqabalallahu minna wa min-kum

“Semoga Allah menerima amal kami dan amalanmu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Puasa itu pada hari kalian semua berpuasa, 'Idul itu pada hari kalian ber-idul , dan 'Idul Adha itu pada hari kalian ber-Iidul Adha."

Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi (no. 694), Imam Ibnu Majah (no. 1660). Lihat Irwa'ul Ghalil (no. 905) dan Silsilah ash-Shahihah (no. 224), dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu.

Dari Jubair bin Nufair, ia berkata, "Dahulu para sahabat Nabi shalallahu'alaihi wasallam mengucapkan 'Taqabbalallahu minna wa minkum' ketika saling bertemu di hari Idul Fitri." Al-Hafidz (Ibnu Hajar) berkata tentang riwayat ini, "Sanadnya hasan."

Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Tidak mengapa hukumnya bila seseorang mengucapkan kepada saudaranya saat Idul Fitri, 'Taqobbalallahu minna wa minkum'." Demikian yang dinukil Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya,

"Apa hukum mengucapkan selamat di hari raya sebagaimana banyak diucapkan oleh orang-orang? Seperti 'indaka mubarak (semoga engkau memperoleh barakah dihari Idul Fitri) dan yang senada. Apakah hal ini memiliki dasar hukum syariat ataukah tidak? Jika memiliki dasar hukum syariat bagaimana seharusnya yang benar?"

Beliau rahimahullah menjawab,

" Adapun hukum tahniah (ucapan selamat) dihari raya yang diucapkan satu dengan yang lainnya ketika selesai ied seperti

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ , وَأَحَالَهُ اللَّهُ عَلَيْك

"Taqabbalallahu minna waminkum wa ahalahullahu 'alaik" (Semoga Allah menerima (amalan) dari kami dan darimu sekalian dan semoga Allah menyempurnakannya atasmu), dan yang semisalnya, telah diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwasanya mereka melakukannya dan para imam memberi keringanan perbuatan ini seperti Imam Ahmad dan yang lainnya. Akan tetapi Imam Ahmda berkata, "Aku tidak akan memulai mengucapkan selamat kepada siapa pun. Namun jika ada orang yang memberi selamat kepadaku akan kujawab. Karena menjawab tahiyyah (penghormatan) adalah wajib. Adapun memulai mengucapkan selamat kepada oranglain maka bukanlah bagian dari sunnah yang dianjurkan dan bukan pula sesuatu yang dilarang dalam syariat. Barangsiapa yang melakukannya maka ia memiliki qudwah (teladan) dan orang yang meninggalkan pun juga memiliki qudwah (teladan). Wallahu a'lam. (Al-Fatawa Al-Kubra, 2/228)

Syaikh Ibnu Ustaimin ditanya,

"Apa hukum tahniah (ucapan selamat) di hari raya? Apakah ada bentuk ucapan tertentu?"

Beliau rahimahullah menjawab,

"Hukum tahniah (ucapan selamat) di hari raya adalah boleh dan tidak ada bentuk ucapan tertentu yang dikhususkan. Karena (hukum asal-pen) setiap adat kebiasaan yang dilakukan orang itu boleh selama bukan perbuatan dosa."

Dalam kesempatan lain beliau rahimahullah juga ditanya,

"Apa hukum berjabat tangan, berpelukan dan saling mengucapkan selamat hari raya ketika selesai shalat ied?"

Beliau rahimahullah menjawab,

"Hukum semua perbuatan ini tidaklah mengapa. Karena orang yang melakukanya tidak bermaksud untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla. Melainkan hanya sekedar melakukan adat dan tradisi, saling memuliakan dan menghormati. Karena selama adat tersebut tidak bertentangan dengan syariat maka hukumnya boleh." (Majmu'Fatawa Ibni Utsaimin, 16/ 208-210)

Sumber: http://www.islamqa.com/ar/cat/2033#6080

Penerjemah: Tim Penerjemah Muslimah.or.id
Muroja'ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal

Puasa Syawal tidak Terlaksana karena Uzur

Posted: 29 Aug 2011 10:35 PM PDT

Tidak karena ada uzur

Bagaimana kalau seseorang tidak bisa melakukan puasa karena ada udzur seperti sakit, nifas atau melunasi hutang puasanya sebanyak sebulan, sehingga keluar bulan Syawal. Apakah dia boleh menggantinya pada bulan-bulan lainnya dan meraih keutamaannya, ataukah tidak perlu karena waktunya telah keluar? Masalah ini diperselisihkan oleh ulama:

Boleh men-qadha-nya karena ada udzur. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’di (Al-Fatawa Sa’diyyah, hal. 230) dan Syaikh Ibnul Utsaimin (Syarhul Mumti’, 7/467). Alasannya adalah men-qiyas-kan dengan ibadah-ibadah lain yang bisa di-qadha apabila ada udzur seperti .

Tidak disyariatkan untuk men-qadha puasa syawal apabila telah keluar bulan Syawal, baik karena ada udzur atau tidak, karena waktunya telah lewat. Pandapat ini dipilih oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 3/270, Al-Fatawa Ibnu Baz -Kitab Da’wah- 2/172, Fatawa Shiyam, 2/695-695, kumpulan Asyraf ‘Abdul Maqshud).

Kesimpulan qadha puasa syawal karena uzur

Pendapat kedua inilah yang tentram dalam hati penulis, karena qadha puasa syawal membutuhkan dalil khusus dan tidak ada dalil dalam masalah ini. Wallahu A’lam (Simak kaset Fatawa Jeddah, oleh Syaikh al-Albani, no. 7 dan Ahkamul Adzkar, Zakariya al-Bakistani, hal. 51).

Alhamdulillah, kalau memang dia benar-benar jujur dalam niatnya yang seandainya bukan karena udzur tersebut dia akan melakukan puasa Syawal, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan pahala baginya, sebagaimana dalam hadits:

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا

"Apabila seorang hamba sakit atau bepergian, maka dia ditulis seperti apa yang dia lakukan dalam muqim sehat." (HR. al-Bukhari, 2996)

Sumber: Ensiklopedi Amalan Sunnah di Bulan Hijriyah, Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi, Abu Abdillah Syahrul Fatwa, Pustaka Darul Ilmi

Artikel www.KonsyltasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: idul fitri, shalat id, syawal, lebaran, puasa syawal

KonsultasiSyariah: Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H

KonsultasiSyariah: Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H


Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H

Posted: 30 Aug 2011 03:34 AM PDT

KonsultasiSyariah.com mengucapkan

Hari Raya 1432 H

Taqabalallahu minna wa min-kum

“Semoga Allah menerima amal kami dan amalanmu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Puasa itu pada hari kalian semua berpuasa, 'Idul itu pada hari kalian ber-idul , dan 'Idul Adha itu pada hari kalian ber-Iidul Adha."

Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi (no. 694), Imam Ibnu Majah (no. 1660). Lihat Irwa'ul Ghalil (no. 905) dan Silsilah ash-Shahihah (no. 224), dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu.

Dari Jubair bin Nufair, ia berkata, "Dahulu para sahabat Nabi shalallahu'alaihi wasallam mengucapkan 'Taqabbalallahu minna wa minkum' ketika saling bertemu di hari Idul Fitri." Al-Hafidz (Ibnu Hajar) berkata tentang riwayat ini, "Sanadnya hasan."

Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Tidak mengapa hukumnya bila seseorang mengucapkan kepada saudaranya saat Idul Fitri, 'Taqobbalallahu minna wa minkum'." Demikian yang dinukil Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya,

"Apa hukum mengucapkan selamat di hari raya sebagaimana banyak diucapkan oleh orang-orang? Seperti 'indaka mubarak (semoga engkau memperoleh barakah dihari Idul Fitri) dan yang senada. Apakah hal ini memiliki dasar hukum syariat ataukah tidak? Jika memiliki dasar hukum syariat bagaimana seharusnya yang benar?"

Beliau rahimahullah menjawab,

" Adapun hukum tahniah (ucapan selamat) dihari raya yang diucapkan satu dengan yang lainnya ketika selesai ied seperti

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ , وَأَحَالَهُ اللَّهُ عَلَيْك

"Taqabbalallahu minna waminkum wa ahalahullahu 'alaik" (Semoga Allah menerima (amalan) dari kami dan darimu sekalian dan semoga Allah menyempurnakannya atasmu), dan yang semisalnya, telah diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwasanya mereka melakukannya dan para imam memberi keringanan perbuatan ini seperti Imam Ahmad dan yang lainnya. Akan tetapi Imam Ahmda berkata, "Aku tidak akan memulai mengucapkan selamat kepada siapa pun. Namun jika ada orang yang memberi selamat kepadaku akan kujawab. Karena menjawab tahiyyah (penghormatan) adalah wajib. Adapun memulai mengucapkan selamat kepada oranglain maka bukanlah bagian dari sunnah yang dianjurkan dan bukan pula sesuatu yang dilarang dalam syariat. Barangsiapa yang melakukannya maka ia memiliki qudwah (teladan) dan orang yang meninggalkan pun juga memiliki qudwah (teladan). Wallahu a'lam. (Al-Fatawa Al-Kubra, 2/228)

Syaikh Ibnu Ustaimin ditanya,

"Apa hukum tahniah (ucapan selamat) di hari raya? Apakah ada bentuk ucapan tertentu?"

Beliau rahimahullah menjawab,

"Hukum tahniah (ucapan selamat) di hari raya adalah boleh dan tidak ada bentuk ucapan tertentu yang dikhususkan. Karena (hukum asal-pen) setiap adat kebiasaan yang dilakukan orang itu boleh selama bukan perbuatan dosa."

Dalam kesempatan lain beliau rahimahullah juga ditanya,

"Apa hukum berjabat tangan, berpelukan dan saling mengucapkan selamat hari raya ketika selesai shalat ied?"

Beliau rahimahullah menjawab,

"Hukum semua perbuatan ini tidaklah mengapa. Karena orang yang melakukanya tidak bermaksud untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla. Melainkan hanya sekedar melakukan adat dan tradisi, saling memuliakan dan menghormati. Karena selama adat tersebut tidak bertentangan dengan syariat maka hukumnya boleh." (Majmu'Fatawa Ibni Utsaimin, 16/ 208-210)

Sumber: http://www.islamqa.com/ar/cat/2033#6080

Penerjemah: Tim Penerjemah Muslimah.or.id
Muroja'ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal

Puasa Syawal tidak Terlaksana karena Uzur

Posted: 29 Aug 2011 10:35 PM PDT

Tidak karena ada uzur

Bagaimana kalau seseorang tidak bisa melakukan puasa karena ada udzur seperti sakit, nifas atau melunasi hutang puasanya sebanyak sebulan, sehingga keluar bulan Syawal. Apakah dia boleh menggantinya pada bulan-bulan lainnya dan meraih keutamaannya, ataukah tidak perlu karena waktunya telah keluar? Masalah ini diperselisihkan oleh ulama:

Boleh men-qadha-nya karena ada udzur. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’di (Al-Fatawa Sa’diyyah, hal. 230) dan Syaikh Ibnul Utsaimin (Syarhul Mumti’, 7/467). Alasannya adalah men-qiyas-kan dengan ibadah-ibadah lain yang bisa di-qadha apabila ada udzur seperti .

Tidak disyariatkan untuk men-qadha puasa syawal apabila telah keluar bulan Syawal, baik karena ada udzur atau tidak, karena waktunya telah lewat. Pandapat ini dipilih oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 3/270, Al-Fatawa Ibnu Baz -Kitab Da’wah- 2/172, Fatawa Shiyam, 2/695-695, kumpulan Asyraf ‘Abdul Maqshud).

Kesimpulan qadha puasa syawal karena uzur

Pendapat kedua inilah yang tentram dalam hati penulis, karena qadha puasa syawal membutuhkan dalil khusus dan tidak ada dalil dalam masalah ini. Wallahu A’lam (Simak kaset Fatawa Jeddah, oleh Syaikh al-Albani, no. 7 dan Ahkamul Adzkar, Zakariya al-Bakistani, hal. 51).

Alhamdulillah, kalau memang dia benar-benar jujur dalam niatnya yang seandainya bukan karena udzur tersebut dia akan melakukan puasa Syawal, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan pahala baginya, sebagaimana dalam hadits:

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا

"Apabila seorang hamba sakit atau bepergian, maka dia ditulis seperti apa yang dia lakukan dalam muqim sehat." (HR. al-Bukhari, 2996)

Sumber: Ensiklopedi Amalan Sunnah di Bulan Hijriyah, Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi, Abu Abdillah Syahrul Fatwa, Pustaka Darul Ilmi

Artikel www.KonsyltasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: idul fitri, shalat id, syawal, lebaran, puasa syawal

Senin, 29 Agustus 2011

Tegar Di Atas Sunnah

Tegar Di Atas Sunnah


Shalat Tarawih Bermakmum Dengan Ahli Bidah

Posted: 28 Aug 2011 05:00 PM PDT

ولاأثم على من صلى خلف مبتدع إذا لم تكن بدعته مكفر ة كما قالشيخ الاسلام ترك الصلاة خلف أهل البدع بدعة

Syaikh Mahir al Qahthani mengatakan, "Tidaklah berdosa shalat bermakmum dengan ahli bid'ah jika bid'ah yang dia miliki bukanlah bidah yang membatalkan iman sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 'Tidak mau shalat bermakmum dengan ahli bid'ah itu termasuk bid'ah'.

وأما البدع المكفرة فقد اختلف العلماء فمنهم من يمنع الصلاة خلفه ومنهم من يمنع لو أقيمت الحجة عليه والأحوط ترك الصلاة خلف مثل هذا لأنه يقول بوحدة الوجود وهي أن مافي الوجود هو عين الله عياذا بالله وأما إذا أقيمت عليه الحجة فلاتصح الصلاة خلفه قولا واحدا

Akan tetapi jika bid'ah yang ada pada dirinya adalah bid'ah yang membatalkan iman maka para ulama berselisih pendapat. Pendapat pertama, melarang shalat bermakmum dengannya. Pendapat kedua, melarang shalat bermakmum dengannya jika hujjah telah disampaikan kepadanya.

Sikap yang lebih hati-hati adalah tidak bermakmum kepada orang memiliki faham wahdatul wujud, semua yang ada di alam semesta ini adalah dzat Allah, meski hujjah belum disampaikan kepadanya.

Namun jika hujjah sudah disampaikan kepadanya maka shalat bermakmum kepadanya itu tidak sah dengan sepakat ulama.

وعلى كل حال صلاة الرجل في منزله آخر الليل للتراويح أفضل ان كان قاريئا ولو بحمل المصحف كما كان عمر يصلي في منزله لقول النبي صلى الله عليه وسلم لمن جاء يصلي خلفه التراويح ايها الناس ارجعوا فصلوا في بيوتكم فإن صلاة الرجل في بيته خير إلا المكتوبة

Walhasil, shalat Tarawih yang dilakukan oleh seseorang di rumahnya pada akhir malam itulah yang lebih baik jika dia adalah seorang yang pandai membaca al Qur'an meski membacanya melalui mushaf sebagaimana Umar sendiri shalat Tarawih di rumahnya sendiri mengingat sabda Nabi kepada orang-orang yang hendak shalat Tarawih di belakang beliau, 'Wahai sekalian manusia, pulanglah. Kerjakan shalat Tarawih di rumah kalian karena shalat seorang laki-laki di rumahnya sendiri itu yang lebih baik kecuali shalat wajib'.

وهو معارض بحديث من يقم مع الامام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة

Penjelasan di atas nampaknya bertentangan dengan hadits 'Siapa saja yang mengerjakan shalat Tarawih bersama imam sampai imam selesai maka tercatat untuknya pahala shalat malam sepanjang malam'.

وقد جمع بينهما البيهقي فقال من كان قاريئا فصلاته في منزله خير ومن كان دون ذلك فمع الجماعة خير

Al Baihaqi mengkompromikan dua hal di atas yang nampak bertentangan dengan mengatakan bahwa siapa saja yang pandai membaca al Qur'an maka shalat tarawih di rumah baginya itu yang lebih baik. Akan tetapi jika kondisinya tidak demikian, shalat tarawih berjamaah di masjid itulah yang lebih baik baginya".

Sumber:

http://www.al-sunan.org/vb/showthread.php?t=9571

Artikel www.ustadzaris.com

Artikel Terkait

KonsultasiSyariah: Puasa Syawal Bagi yang Punya Tanggungan Qadha’ Ramadhan

KonsultasiSyariah: Puasa Syawal Bagi yang Punya Tanggungan Qadha’ Ramadhan


Puasa Syawal Bagi yang Punya Tanggungan Qadha’ Ramadhan

Posted: 29 Aug 2011 05:33 PM PDT

Bagi Orang yang Punya Tanggungan Qadha’

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya orang yang berpuasa enam hari pada bulan Syawal () bagi orang yang punya tanggungan meng-qadha’?

Jawaban Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin perihal puasa syawal:

Jawabannya adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالَ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ. (رواه مسلم

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan dan dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawal, maka pahalanya seperti puasa setahun penuh." (HR. Muslim).

Jika seseorang mempunyai tanggungan meng-qadha’ lalu ingin mengerjakan puasa Syawwal enam hari, apakah dia berpuasa sebelum ataukah sesudah meng-qadha’ puasa Ramadhan?

Misalnya, ada seseorang yang berpuasa di bulan Ramadhan dua puluh empat hari dan dia masih punya tanggungan meng-qadha’ enam hari, jika dia berpuasa Syawal enam hari sebelum meng-qadha’ enam hari yang ditinggalkannya, maka tidak bisa dikatakan bahwa dia berpuasa Ramadhan dan dilanjutkan dengan puasa Syawal, karena seseorang tidak bisa dikatakan telah berpuasa Ramadhan kecuali jika menyempurnakannya. Dengan demikian, tidak mendapatkan pahala puasa Syawal enam hari itu, kecuali bagi orang yang telah meng-qadha’ puasa Ramadhan yang ditinggalkannya.

Masalah ini tidak termasuk masalah yang diperselisihkan oleh para ulama tentang bolehnya seseorang mengerjakan puasa sunnah bagi orang yang punya tanggungan meng-qadha puasa Ramadhan, karena perselisihan itu di selain enam hari bulan Syawal. Sedangkan tentang puasa enam hari di bulan Syawal, tidak mungkin mendapatkan pahalanya kecuali bagi orang yang menyempurnakan puasa Ramadhan.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, , , Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Tanya jawab seputar puasa syawal

Kata Kunci Terkait: syawal, idul fitri, shalat id, lebaran, puasa syawal

Wudhu bagi Wanita Haid

Posted: 29 Aug 2011 04:14 PM PDT

Jika

Ustadz, apakah ada larangan bagi wanita haid untuk berwudhu? Wanita haid sedang berhadas, apakah dengan wudhu, status berhadasnya bisa menjadi suci, karena fungsi wudhu ‘kan untuk bersuci?

Ellis Khairunnisa (**_elis@***.com)

Jawaban untuk wanita yang haid dan melakukan wudhu:

Tidak disyariatkan bagi wanita haid untuk berwudhu karena wudhu wanita haid tidak menghilangkan status hadasnya.

Imam Nawawi mengatakan, “Para ulama mazhab kami (Syafi’iyah) sepakat bahwa tidak dianjurkan bagi wanita haid atau nifas untuk berwudhu (sebelum tidur) karena wudhunya tidak berdampak pada statusnya, karena ketika darah haidnya sudah berhenti (sedangkan dia belum mandi suci), hukumnya seperti orang junub. (Syarh Shahih Muslim, 3:218)

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: mentruasi, bulanan wanita, wudhu, fikih wanita, kewanitaan, haid

Waktu Paling Baik Melaksanakan Puasa Syawal

Posted: 29 Aug 2011 12:08 AM PDT

Waktu Paling Baik Melaksanakan

Pertanyaan:

Kapan puasa enam hari bulan Syawwal ()yang paling baik?

Jawaban:

Puasa enam hari pada bulan Syawal yang paling baik adalah setelah Idul Fithri langsung dan harus berkesinambungan, seperti yang di-nash-kan oleh para ulama, karena hal itu lebih sempurna dalam merealisasikan kelanjutan seperti yang dinyatakan dalam hadits, "kemudian dilanjutkan". Karena, hal itu termasuk berlomba-lomba kepada kebaikan yang disenangi pelakunya oleh Allah seperti yang dicatat dalam nash. Juga karena hal itu termasuk bukti semangat yang merupakan kesempurnaan seorang hamba. Kesempatan itu tidak boleh lewat, karena seseorang tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok, maka dari itu kita harus segera melakukan kebaikan dan harus menggunakan kesempatan sebaik-baiknya dalam segala hal yang di dalamnya telah tampak kebaikannya.

Semoga Allah memudahkan kita untuk menunaikan sunnah puasa syawal.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, , , Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Pembahasan: Anjuran puasa syawal, faidah puasa syawal, menyegerakan puasa syawal

Kata Kunci Terkait: ebaran, keutamaan mudik, mudik, idul fitri, sunnah idul fitri, syawalan

Minggu, 28 Agustus 2011

Tegar Di Atas Sunnah

Tegar Di Atas Sunnah


Qadha atau Fidyah?

Posted: 28 Aug 2011 08:00 AM PDT

الحامل والمرضع، فإن الحامل والمرضع من أهل الأعذار إذا كان صومها يشق مع الحمل أو مع الإرضاع بحيث لا تستطيع أن ترضع ولدها أو أنها تتعب تعباً شديداً مع الصيام وإرضاع ولدها فإن لها أن تفطر

Syaikh Dr Abdul Aziz ar Rais mengatakan, "Wanita hamil dan menyesuai itu termasuk orang yang mendapat keringanan dalam hal puasa.

Jika puasa dalam kondisi hamil atau menyusui itu memberatkannya. Yang dimaksud dengan memberatkannya adalah tidak bisa menyusui atau merasa capek luar biasa jika berpuasa sambil tetap menyusui anak. Dalam kondisi demikian, boleh bagi wanita hami dan menyusui untuk tidak berpuasa.

وأصح أقوال أهل العلم كما ذهب إلى هذا القاسم بن محمد وإسحاق بن راهويه وجمعٌ من أهل العلم وأفتى به اثنان من صحابة رسول الله صلى الله عليه وسلم أنها تُفطر ولا تقضي وتُطعم عن كل يوم مسكيناً هذا أصح أقوال أهل العلم

Pendapat ulama yang paling kuat dalam masalah ini, wanita hamil dan menyusui itu boleh tidak berpuasa, tidak perlu qadha dan cukup memberi makan setiap harinya seorang miskin. Pendapat ini merupakan pendapat al Qasim bin Muhammad, Ishaq bin Rahuyah dan sejumlah ulama serta fatwa dari dua orang shahabat Nabi yaitu Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Inilah pendapat yang paling kuat diantara beberapa pendapat ulama dalam masalah ini.

ورجح هذا القول الشيخ ناصر الدين الألباني رحمه الله تعالى أنها تفطر ولا تقضي وتطعم عن كل يوم مسكيناً تماماً كالشيخ الكبير وكالذي به مرض لا يرجى برؤه فإنه يفطر ويطعم ولا يقضي

Pendapat inilah yang dinilai kuat oleh Syaikh Nashiruddin al Albani, boleh tidak berpuasa, tidak perlu qadha dan memberi makan untuk setiap harinya seorang miskin sama persis dengan orang tua dan orang yang sakit menahun dan tidak lagi diharapkan kesembuhannya yang tidak berpuasa namun diganti dengan memberi makan kepada orang miskin dan tidak perlu qadha"
[al Mukhtashar fi Ahkammis Shiyam bid dalil hal 12-13, diterbitkan oleh http://islamancient.com].

Artikel www.ustadzaris.com

Sudah membaca yang ini?

KonsultasiSyariah: Shalat ‘Id untuk Wanita

KonsultasiSyariah: Shalat ‘Id untuk Wanita


Shalat ‘Id untuk Wanita

Posted: 28 Aug 2011 02:27 PM PDT

Hukum Keluarnya untuk ‘Id di Zaman ini

Pertanyaan:

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya:

Apa hukum keluarnya wanita ke tempat shalat ‘Id, terutama di zaman kita sekarang ini yang banyak terjadi fitnah, sementara sebagian wanita keluar rumah dengan berhias dan mengenakan wewangian. Jika kami mengatakan boleh, apa pendapat Anda tentang ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, "Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat apa yang dilakukan oleh para wanita, tentulah beliau akan melarangnya"?

Jawaban fatwa ulama bolehnya wanita keluar untuk menunaikan shalat ‘id:

Menurut kami, bahwa para wanita diperintahkan untuk keluar ke tempat shalat ‘id agar dapat menyaksikan kebaikan  dan ikut serta bersama kaum Muslimin lainnya dalam shalat dan dakwah mereka, akan tetapi seharusnya mereka keluar dengan sederhana, tidak berhias dan tidak pula mengenakan wewangian. Dengan demikian, berarti mereka dapat melaksanakan sunnah dan menghindari fitnah. Sedangkan para wanita yang ber-tabarruj (berhias) dan mengenakan wewangian, maka itu karena ketidaktahuan mereka dan kekurangan para wali mereka dalam urusan mereka. Namun, yang demikian ini tidak menghalangi hukum syariat yang umum, yaitu diperintahkannya para wanita untuk keluar menuju tempat pelaksanaan . Adapun mengeani ucapan Aisyah radhiallahu ‘anhu, sebagaimana diketahui, bahwa sesuatu yang mubah (boleh) apabila menyebabkan timbulnya sesuatu yang haram maka akan menjadi haram. Jika mayoritas wanita keluar rumah dengan penampilan yang seperti demikian (As’ilah wa Ajwibah fi Shalatil Idain, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 26).

Sumber: Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 1, Darul Haq, Cetakan VI 2010

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Bolehnya wanita keluar untuk menunaikan shalat ‘id

Kata Kunci Terkait: idul fitri, shalat id, lebaran, shalat, wanita

Sabtu, 27 Agustus 2011

KonsultasiSyariah: Zakat Fitrah untuk Pembantu

KonsultasiSyariah: Zakat Fitrah untuk Pembantu


Zakat Fitrah untuk Pembantu

Posted: 27 Aug 2011 12:42 AM PDT

untuk pembantu

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ustadz, saya punya seorang pembantu (PRT). Pertanyaannya: apakah zakat fitrinya menjadi (wajib) tanggungan keluarga kami atau tidak? Demikian, Ustadz. Terima kasih sebelumya. Semoga Allah memudahkan Ustadz dalam segala urusan.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ade Tatang (ade**@***.com)

Jawaban bolehkah tuannya  membayarkan zakat fitrah untuk pembantunya:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Jika nafkah pembantu tersebut ditanggung oleh tuannya, misalnya: pembantu rumah tangga, maka wajib bagi tuannya membayarkan zakat fitrah untuk pembantunya.

Jika nafkah pembantu tidak ditanggung tuannya maka tidak ada kewajiban bagi tuannya untuk menunaikan zakat fitrah pembantunya.

Imam Malik mengatakan, "Tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk membayarkan zakat bagi budak milik budaknya, pembantunya, dan budak istrinya, kecuali orang yang membantu dirinya dan harus dia nafkahi maka status zakatnya wajib. (Al-Muwaththa', 2:334)

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: "zakat fitrah", kadar zakat, pembatu, zakat fitri, yang berhak menerima zakat, uang zakat, sedekah

Jumat, 26 Agustus 2011

KonsultasiSyariah: Download Infografik Panduan Zakat Fitrah dan Zakat Harta

KonsultasiSyariah: Download Infografik Panduan Zakat Fitrah dan Zakat Harta


Download Infografik Panduan Zakat Fitrah dan Zakat Harta

Posted: 26 Aug 2011 06:22 PM PDT

Infografik Panduan dan Zakat Harta

Pembaca setia KonsultasiSyariah.com yang semoga selalu dirahmati Allah, berikut ini kami hadirkan Infografik Panduan Zakat dan Zakat Harta. Infografik Panduan Zakat ini didesain dengan menarik disertai ilustrasi yang cantik untuk memudahkan Anda dalam memahami aturan pembagian zakat (baik maupun ) sesuai dengan petunjuk Alquran dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Infografik Panduan Zakat ini disusun oleh Ustadz Muhamad Wasitho, Lc. (Dewan Pembina PengusahaMuslim.com dan Staf Ahli Syariah Majalah Pengusaha Muslim) disertai tambahan penjelasan oleh Ustadz Ammi Nur Baits, S.T. (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com). Semoga Infografik Panduan Zakat ini bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin.

Silakan download pada link berikut:

Download Infografik Panduan Zakat Fitri dan Zakat Harta

Infografik Panduan Zakat (32)

Artikel www.konsultasisyariah.com

Bayar Zakat Fitrah Antar-Negara

Posted: 26 Aug 2011 06:05 PM PDT

Pertanyaan bayar antar-negara:

Assalamu ‘alaykum. Saya tinggal di Jepang, dan bingung mau bayar zakat fitrah. Apakah boleh orang tua kita yang di Indonesia yang membayarkan zakat fitrah kita? Padahal harga beras di Jepang ‘kan jauh berbeda dengan di Indonesia. Apakah kita harus bayar zakat fitrah berupa beras di Indonesia seharga 2,5 kg beras di Jepang?

Abu Abdillah (abuabdillah**@i.***.jp)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam.

Berikut ini keterangan dalam Fatwa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih.

Alhamdulillah wash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah.

Tiga imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad rahimahumullah berpendapat bahwa zakat fitrah hanya boleh diberikan dalam bentuk bahan makanan yang umumnya berlaku di suatu negeri. Sementara, Imam Abu Hanifah rahimahullah memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan uang, sebagai ganti dari bahan makanan. Karena itu, jika Anda ingin memberikan zakat itu kepada (muslim) di negeri tersebut –dan merekalah yang lebih berhak– maka jangan bayar zakat kecuali dengan bahan makanan.

Akan tetapi, jika Anda ingin mengirim zakat fitrah Anda ke negeri lain, karena tidak ada orang yang berhak menerimanya di negeri tempat tinggal Anda maka yang lebih baik adalah Anda mengirim uang kepada seseorang di negeri tujuan, dan Anda amanahkan untuk membelikan beras dan menyerahkannya ke orang miskin. Allahu a’lam.”

Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&lang=a&Id=929&Option=FatwaId

**

Catatan dari redaksi Konsultasi Syariah perihal membayar zakat

Berdasarkan keterangan di atas, bisa disimpulkan:

  • Anda bisa mengirimkan uang atau mewakilkan ke orang tua di indonesia untuk membayarkan zakat Anda.
  • Standard harga beras adalah harga beras di indonesia karena yang menjadi acuan adalah bahan makanan di tempat penyerahan zakat, bukan nilai uangnya.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: yang berhak menerima zakat, zakat fitri, "zakat fitrah", uang zakat, sedekah, kadar zakat

Download Ebook Khutbah Idul Fitri: Meraih Kemenangan dengan Ketaatan

Posted: 26 Aug 2011 05:03 AM PDT

Download Khutbah Idul

Khutbah berikut ini menjelaskan tentang berwasiat kepada kaum muslimin untuk senantiasa bertakwa kepada Allah Ta'ala dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat yang telah dianugerahkan kepada kita. Allah Ta'ala telah menganugerahkan kepada kita dîn (agama) yang mulia ini, yaitu al-Islam.

Nikmat lainnya yang telah Allah berikan yaitu kenikmatan melaksanakan ibadah di bulan yang dimuliakan, yaitu ibadah di bulan . Kemudian, hendaklah kita bersyukur, karena Allah Ta'ala telah memberikan hidayah kepada kita berupa akidah yang benar, sementara itu masih banyak orang yang tidak mendapatkannya. Dan masih banyak lagi nikmat lainnya yang telah Allah berikan kepada kita. Ingin tahu penjelasan lengkapnya?

Link Download

Silakan download materi khutbah Idul Fitri berikut ini. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin.

Download Ebook Khutbah Idul Fitri 1432 : Meraih Kemenangan dengan Ketaatan (100)

Artikel www.konsultasisyariah.com
Sumber: http://khotbahjumat.com

Kata Kunci Terkait: shalat id, download khutbah sholat id, khutbah shalat idul fitri, shalat, wanita, idul fitri, lebaran tahun ini, lebaran, tata cara shalat id

Download Kartu Lebaran Digital KonsultasiSyariah.com

Posted: 26 Aug 2011 04:57 AM PDT

Digital dari KonsultasiSyariah.com

Kami hadirkan kartu digital untuk Anda, pembaca setia KonsultasiSyariah.com.

Cara Penggunaan

  1. Kartu Lebaran Digital ini dapat Anda kirimkan kepada orang-orang terdekat Anda; orangtua , suami, istri, saudara, dan sahabat Anda. Kartu lebaran digital ini didesain sedemikian rupa disesuaikan dengan penerimanya.
  2. Kartu Lebaran Digital ini dapat Anda kirimkan via email kepada orang terdekat Anda, atau dapat juga ditampilkan di halaman facebook Anda.

Silakan pilih dan download koleksi Kartu Lebaran Digital KonsultasiSyariah.com pada  link di bawah ini:

Abi Umi (untuk orangtua)
 Download Kartu Lebaran Digital KonsultasiSyariah.com

Download E-Card Lebaran - ABI UMMI (282)

Arhuwani (untuk saudara)

 Download Kartu Lebaran Digital KonsultasiSyariah.com

Download E-Card Lebaran - AKHI UKHTI (265)

Aswad (umum)

 Download Kartu Lebaran Digital KonsultasiSyariah.com

Download E-Card Lebaran - ASWAD (262)

Azraq (umum)

 Download Kartu Lebaran Digital KonsultasiSyariah.com

Download E-Card Lebaran - AZROQ (264)

Grey Masjid (umum)

 Download Kartu Lebaran Digital KonsultasiSyariah.com

Download E-Card Lebaran - GREY MASJID (256)

Habiby (untuk istri)

 Download Kartu Lebaran Digital KonsultasiSyariah.com

Download E-Card Lebaran - HABIBI (257)

Medina (umum)

 Download Kartu Lebaran Digital KonsultasiSyariah.com

Download E-Card Lebaran - MEDINA (253)

Nur (umum)

 Download Kartu Lebaran Digital KonsultasiSyariah.com

Download E-Card Lebaran - NUR (254)

Shodiqy (untuk sahabat)

 Download Kartu Lebaran Digital KonsultasiSyariah.com

Download E-Card Lebaran - SHODIQI (253)

Ya Ukhty (untuk saudari)

 Download Kartu Lebaran Digital KonsultasiSyariah.com

Download E-Card Lebaran - YA UKHTI (250)

Zaujy (untuk suami)

 Download Kartu Lebaran Digital KonsultasiSyariah.com

Download E-Card Lebaran - ZAWJI (249)

Kami segenap crew KonsultasiSyariah.com mengucapkan,

تقب الله منا ومنكم

Kata Kunci Terkait: ucapan idul fitri, kartu lebaran, ucapan, minal aidin, idul fitri, lebaran, selamat, selamt lebaran

Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah

Posted: 25 Aug 2011 11:58 PM PDT

Ustadz, Siapa saja orang yang berhak menerima fitrah? Jazakallahu khairan atas jawaban Ustadz.

Jawaban untuk orang yang berhak menerima zakat fitrah

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan … sebagai makanan bagi …." (Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Hadis ini menunjukkan bahwa salah satu fungsi zakat adalah sebagai makanan bagi orang miskin. Ini merupakan penegasan bahwa orang yang berhak menerima zakat adalah golongan dan miskin.

Bagaimana dengan enam golongan yang lain?

Dalam surat At-Taubah, Allah berfirman,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ  (التوبة: 60

"Sesungguhnya, zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah." (Qs. At-Taubah:60)

Ayat di atas menerangkan tentang delapan golongan yang berhak menerima zakat. Jika kata "zakat" terdapat dalam Alquran secara mutlak, artinya adalah ‘zakat yang wajib’. Oleh sebab itu, ayat ini menjadi dalil yang menguraikan golongan-golongan yang berhak mendapat zakat harta, zakat binatang, zakat tanaman, dan sebagainya.

Meskipun demikian, apakah ayat ini juga berlaku untuk zakat fitri, sehingga delapan orang yang disebutkan dalam ayat di atas berhak untuk mendapatkan zakat fitri? Dalam hal ini, ulama berselisih pendapat.

Pertama, zakat fitri boleh diberikan kepada delapan golongan tersebut. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka berdalil dengan firman Allah pada surat At-Taubah ayat 60 di atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan zakat fitri dengan "zakat", dan hukumnya wajib untuk ditunaikan. Karena itulah, zakat fitri berstatus sebagaimana zakat-zakat lainnya yang boleh diberikan kepada delapan golongan. An-Nawawi mengatakan, "Pendapat yang terkenal dalam mazhab kami (Syafi'iyah) adalah zakat fitri wajib diberikan kepada delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat harta." (Al-Majmu')

Kedua, zakat fitri tidak boleh diberikan kepada delapan golongan tersebut, selain kepada fakir dan miskin. Ini adalah pendapat Malikiyah, Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Ibnul Qayyim. Dalil pendapat kedua:

  1. Perkataan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri … sebagai makanan bagi orang miskin …." (Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
  2. Berkaitan dengan hadis ini, Asy-Syaukani mengatakan, "Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa zakat fitri hanya (boleh) diberikan kepada fakir miskin, bukan 6 golongan penerima zakat lainnya." (Nailul Authar, 2:7)
  3. Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memerintahkan zakat fitri dan membagikannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Cukupi kebutuhan mereka agar tidak meminta-minta pada hari ini.’" (Hr. Al-Juzajani; dinilai sahih oleh sebagian ulama)
  • Yazid (perawi hadis ini) mengatakan, "Saya menduga (perintah itu) adalah ketika pagi hari di hari raya."
  • Dalam hadis ini, ditegaskan bahwa fungsi zakat fitri adalah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin ketika hari raya. Sebagian ulama mengatakan bahwa salah satu kemungkinan  tujuan perintah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin di hari raya adalah agar mereka tidak disibukkan dengan memikirkan kebutuhan makanan di hari tersebut, sehingga mereka bisa bergembira bersama kaum muslimin yang lainnya.

Di samping dua alasan di atas, sebagian ulama (Ibnul Qayyim) menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum tidak pernah membayarkan zakat fitri kecuali kepada fakir miskin. Ibnul Qayyim mengatakan, "Bab ‘Zakat Fitri Tidak Boleh Diberikan Selain kepada Fakir Miskin’. Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengkhususkan orang miskin dengan zakat ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membagikan zakat fitri kepada seluruh delapan golongan, per bagian-bagian. Beliau juga tidak pernah memerintahkan hal itu. Itu juga tidak pula pernah dilakukan oleh seorang pun di antara sahabat, tidak pula orang-orang setelah mereka (tabi'in). Namun, terdapat salah satu pendapat dalam mazhab kami bahwa tidak boleh menunaikan zakat fitri kecuali untuk orang miskin saja. Pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang mewajibkan pembagian zakat fitri kepada delapan golongan." (Zadul Ma'ad, 2:20)

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang berhak menerima zakat fitrah adalah fakir miskin saja.

Catatan:

Sebagian orang memberikan zakat fitri untuk pembangunan masjid, rumah sakit Islam, yayasan-yayasan Islam, atau pemuka agama. Apa hukumnya?

  • Jika kita mengambil pendapat bahwa zakat fitri hanya boleh diberikan kepada fakir miskin maka memberikan zakat fitri kepada masjid, yayasan Islam, atau tokoh masyarakat yang bukan orang miskin itu termasuk tindakan memberikan zakat kepada sasaran yang tidak berhak. Sebagian ulama menerangkan bahwa memberikan zakat kepada golongan yang tidak berhak itu dinilai sebagai tindakan durhaka kepada Allah dan kewajibannya belum gugur. Artinya, zakat fitrinya harus diulangi.
  • Jika kita bertoleransi terhadap pendapat yang membolehkan pemberian zakat fitri kepada semua golongan yang delapan maka perlu diketahui bahwasanya masjid, yayasan Islam, atau pemuka agama tidaklah termasuk dalam delapan golongan tersebut. Masjid atau yayasan tidak bisa digolongkan sebagai "fi sabilillah".
  • Demikian pula terkait pemuka agama. Jika dia orang yang berkecukupan maka dia tidak berhak diberi maupun menerima zakat karena zakat ini adalah hak orang fakir miskin. Jika ada pemuka agama atau tokoh masyarakat yang menerima zakat atau bahkan meminta zakat maka berarti dia telah menyita hak orang lain.

Allahu a’lam.

Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: kadar zakat, zakat fitri, "zakat fitrah", sedekah, uang zakat, yang berhak menerima zakat