Rabu, 20 Juli 2011

Konsultasi Syariah: Adakah Larangan Puasa Setelah Nishfu Sya’ban?

Konsultasi Syariah: Adakah Larangan Puasa Setelah Nishfu Sya’ban?


Adakah Larangan Puasa Setelah Nishfu Sya’ban?

Posted: 20 Jul 2011 09:40 PM PDT

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum. Saya mendengar dari orang bahwa puasa setelah tanggal 15 Sya’ban tidak diperbolehkan. Apakah benar? Terima kasih. Assalamu ‘alaikum.

Nendi Budiawan (nandy**@yahoo.***)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam.

Disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika sudah masuk pertengahan Sya'ban, janganlah berpuasa." (H.r. Abu Daud, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Sementara itu, disebutkan dalam riwayat yang lain, dari Aisyah radhiallahu 'anha, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam belum pernah berpuasa selama satu bulan yang lebih banyak daripada puasa bulan Sya'ban. Terkadang, beliau hampir berpuasa Sya'ban selama sebulan penuh.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)

Secara zahir, kedua hadis di atas bertentangan. Karena itu, ulama berbeda pendapat dalam memaknai hadis yang pertama.

Pendapat yang kuat dalam mengompromikan dua hadis di atas adalah pendapat yang disebutkan dalam Aunul Ma’bud, yang menukil keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, bahwa Al-Qurthubi mengatakan, “Tidak ada pertentangan antara hadis yang melarang puasa setelah memasuki pertangahan Sya’ban dengan hadis yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadan. Kompromi memungkinkan untuk dilakukan. Dengan memahami bahwa hadis larangan puasa adalah untuk orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa sunah, sementara keterangan untuk rajin puasa di bulan Sya’ban dipahami untuk orang yang memiliki kebiasaan puasa sunah, agar tetap istiqamah dalam menjalankan kebiasaan baiknya, sehingga tidak terputus.” (Aunul Ma’bud, 6:330)

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.konsultasisyariah.com

SMS Maaf-maafan Menjelang Ramadan

Posted: 20 Jul 2011 03:18 PM PDT

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum. Benarkah isi sms maaf-maafan yang marak tersebar akhir-akhir ini? Isinya:

Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada Shalat Jum'at (dalam bulan Sya'ban), beliau mengatakan Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Amin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Amin sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum'at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: "ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah Amin-kan do'a ku ini," jawab Rasullullah.

Do'a Malaikat Jibril adalah: "Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;
3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.

Abu yahya (tegal**@***.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah.

Hampir semua orang yang menuliskan hadis ini tidak ada yang menyebutkan periwayat hadisnya. Setelah dicari, hadis ini pun tidak ada di kitab-kitab hadis. Setelah berusaha mencari-cari lagi, saya menemukan ada orang yang menuliskan hadis ini kemudian menyebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, 3:192 dan Ahmad, 2:246, 254. Ternyata, pada kitab Shahih Ibnu Khuzaimah, 3:192, juga pada kitab Musnad Imam Ahmad, 2:246 dan 2:254 ditemukan hadis berikut:

عن أبي هريرة  أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له  يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين  قال الأعظمي : إسناده جيد

"Dari Abu Hurairah; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam naik mimbar lalu bersabda, 'Amin … amin … amin.’ Para sahabat bertanya, ‘Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?’ Kemudian, beliau bersabda, ‘Baru saja Jibril berkata kepadaku, 'Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadan tanpa mendapatkan ampunan,’ maka kukatakan, 'Amin.' Kemudian, Jibril berkata lagi, 'Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun itu tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua),' maka aku berkata, 'Amin.' Kemudian, Jibril berkata lagi, 'Allah melaknat seorang hamba yang tidak bersalawat ketika disebut namamu,' maka kukatakan, 'Amin.”" (Al-A'zhami berkata, "Sanad hadis ini jayyid.”)

Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Mundziri dalam At-Targhib wa At-Tarhib, 2:114, 2:406, 2:407, dan 3:295; juga oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Madzhab, 4:1682. Dinilai hasan oleh Al-Haitsami dalam Majma' Az-Zawaid, 8:142; juga oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Qaulul Badi', no. 212; juga oleh Al-Albani di Shahih At-Targhib, no. 1679.

Dari sini, jelaslah bahwa kedua hadis di atas adalah dua hadis yang berbeda. Entah siapa orang iseng yang membuat hadis pertama. Atau mungkin, bisa jadi pembuat hadis tersebut mendengar hadis kedua, lalu menyebarkannya kepada orang banyak dengan ingatannya yang rusak, sehingga makna hadis pun berubah.

Bisa jadi juga, pembuat hadis ini berinovasi membuat tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadan, lalu sengaja menyelewengkan hadis kedua ini untuk mengesahkan tradisi tersebut. Yang jelas, hadis yang tersebat luas itu tidak ada asal-usulnya. Kita pun tidak tahu siapa yang mengatakan hal itu. Sebenarnya, itu bukan hadis dan tidak perlu kita hiraukan, apalagi diamalkan.

Meminta maaf itu disyariatkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

من كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه

"Orang yang pernah menzalimi saudaranya dalam hal apa pun, maka hari ini ia wajib meminta agar perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari saat tidak ada ada dinar dan dirham, karena jika orang tersebut memiliki amal saleh, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezalimannya. Namun, jika ia tidak memiliki amal saleh maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zalimi." (H.r. Bukhari, no. 2449)

Kata “اليوم” (hari ini) menunjukkan bahwa meminta maaf itu dapat dilakukan kapan saja, dan yang paling baik adalah meminta maaf dengan segera karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput.

Dari hadis ini jelaslah bahwa Islam mengajarkan untuk meminta maaf, jika kita berbuat kesalahan kepada orang lain. Adapun meminta maaf tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui maka itu tidak pernah diajarkan oleh Islam.

Jika ada yang berkata, "Manusia ‘kan tempat salah dan dosa. Mungkin saja kita berbuat salah kepada semua orang tanpa disadari.”

Yang dikatakan itu memang benar, namun apakah serta-merta kita meminta maaf kepada semua orang yang kita temui? Mengapa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah berbuat demikian? Padahal, mereka adalah orang-orang yang paling khawatir akan dosa. Selain itu, kesalahan yang tidak disengaja atau tidak disadari itu tidak dihitung sebagai dosa di sisi Allah ta'ala. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

"Sesungguhnya, Allah telah memaafkan umatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, karena lupa, atau karena dipaksa." (H.r. Ibnu Majah, no. 1675; Al-Baihaqi, 7:356; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, 4:4; dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

Dengan demikian, orang yang “meminta maaf tanpa sebab” kepada semua orang bisa terjerumus pada sikap ghuluw (berlebihan) dalam beragama. Begitu pula, mengkhususkan suatu waktu untuk meminta maaf dan dikerjakan secara rutin setiap tahun tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam.

Hal lain yang menjadi sisi negatif tradisi semacam ini adalah menunda permintaan maaf terhadap kesalahan yang dilakukan kepada orang lain hingga bulan Ramadan tiba. Beberapa orang, ketika melakukan kesalahan kepada orang lain, tidak langsung minta maaf dan sengaja ditunda sampai momen Ramadan tiba, meskipun harus menunggu selama 11 bulan.

Meski demikian, bagi orang yang memiliki kesalahan bertepatan dengan Sya’ban atau Ramadan, tidak ada larangan memanfaatkan waktu menjelang Ramadan untuk meminta maaf pada bulan ini, kepada orang yang pernah dizaliminya tersebut. Asalkan, ini tidak dijadikan kebiasaan, sehingga menjadi ritual rutin yang dilakukan setiap tahun dan dilakukan tanpa sebab.

Wallahu a'lam.

Diambil dari situs kangaswad.wordpress.com, dengan beberapa penambahan oleh Ustadz Ammi Nur Baits.

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Cara Tobat dari Homo dan Lesbi

Posted: 20 Jul 2011 12:57 AM PDT

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum, Ustadz.

Saya sekarang sedang bingung dengan masalah yang saya hadapi dan saya mohon bimbingannya, Ustadz. Begini, saya telah terjerumus ke dalam dunia liwath dan itu sudah terjadi sejak lama. Sampai sekarang, sudah pantas rasanya saya untuk membina rumah tangga karena umur saya sudah kepala tiga. Tapi karena liwath itu, saya sampai saat ini tidak ada semangat untuk menjalani pernikahan karena keraguan dalam diri saya akan kemampuan saya menjalani peran sebagai suami kelak. Saya sangat ingin bisa bebas dari pengaruh liwath ini, Ustadz. Mohon petunjuk, apa yang harus saya lakukan? Terima kasih atas bantuan Ustadz sebelumnya. Saya tunggu jawabannya, Ustadz.

NN (**@yahoo.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Allahu akbar! Perbuatan liwath (homo/lesbi) adalah dosa yang sangat besar. Allah menyebutnya sebagai “al-fahisyah” (kumpulan perbuatan kekejian). Allah berfirman,

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ

Ingatlah Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya, kalian telah melakukan al-fahisyah, yang belum pernah dilakukan seorang pun di alam ini.‘” (Q.s. Al-Ankabut:28)

Perbuatan ini tidak mungkin dilakukan oleh orang yang nuraninya masih baik. Saking jeleknya perbuatan ini, Allah menghukum umat Nabi Luth yang melanggar, dengan empat hukuman sekaligus:

1. Dibutakan matanya (Q.s. Al-Qamar:37).
2. Bumi yang mereka tempati diangkat dan dibalik (Q.s. Al-Hijr:74).
3. Dihujani dengan batu (Q.s. Al-Hijr:74).
4. Allah kirimkan suara yang sangat keras (Q.s. Al-Hijr:73).

Andaikan hukum Islam ditegakkan, orang yang melakukan liwath akan dihukum dengan hukuman mati. Hanya saja, para sahabat berbeda pendapat tentang cara menghukumnya. Ada yang berpendapat dibakar, ada yang berpendapat dijatuhkan dari tempat yang tinggi kemudian dihujani batu dari atas, dan ada yang berpendapat dipenggal kepalanya. Yang jelas, semua sepakat bahwa pelaku homoseks dihukum mati, baik sudah menikah maupun belum menikah. Dasar masalah ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به

Siapa saja yang berjumpa dengan orang yang melakukan perbuatan seperti tindak-tanduk kaum Luth (homo atau lesbi) maka bunuhlah pelaku dan objeknya!” (H.R. Ahmad; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Karena itu, bagi Anda yang sempat terjerumus ke dalam perbuatan nista ini, hendaknya serius dalam bertobat kepada Allah. Yang bisa Anda lakukan:

  1. Tinggalkan lingkungan dan semua teman yang menjadi penyebab Anda melakukan kemaksiatan ini.
  2. Banyak memohon ampun kepada Allah, agar Allah menghapuskan dosa dan hukumnya yang menjadi ancaman bagi Anda.
  3. Anda harus bersedih ketika Anda teringat perbuatan ini.
  4. Carilah lingkungan yang baik, yang bisa membimbing Anda untuk melakukan ketaatan.
  5. Penuhi hidup Anda dengan ibadah dan mempelajari agama. Semoga ini bisa menjadi penghalang bagi Anda agar tidak lagi kembali kepada kemaksiatan sebelumnya.
  6. Jangan ceritakan hal ini kepada siapa pun, termasuk orang terdekat Anda, termasuk keluarga, istri, orang tua, atau siapa pun dia. Jika Anda ingin berkonsultasi, Anda bisa konsultasikan kepada orang lain yang tidak mengenal Anda, dengan cara yang disamarkan.

Terkait masalah pernikahan, Anda berhak untuk menikah, karena orang yang sudah bertobat itu dianggap tidak melakukan dosa yang dia sesali.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Wanita tidak Puasa karena Menyusui, Qadha’ ataukah Fidyah?

Posted: 19 Jul 2011 09:55 PM PDT

Pertanyaan:

Bolehkah orang yang menyusui tidak berpuasa? Kapan dia harus meng-qadha-nya? Haruskah dia memberi makan orang miskin?

Jawaban:

Seorang ibu jika mengkhawatirkan anaknya jika (ia-ed.) berpuasa, karena hal itu akan mengurangi kandungan susu dan membahayakan anak, maka dia boleh berbuka, tetapi dia harus meng-qadha-nya setelah itu, karena posisinya seperti orang sakit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (Q.S. Al-Baqarah: 185).

Jika halangan itu sudah tidak ada, maka dia harus meng-qadha-nya, baik di musim dingin karena waktunya pendek dan udaranya dingin, atau jika tidak bisa di musim dingin bisa dikerjakan di tahun yang akan datang. Adapun menggantinya dengan memberi makan orang miskin tidak boleh dilakukan kecuali jika halangan atau udzur itu datang secara terus menerus yang tidak akan hilang. Dalam keadaan seperti, dia boleh memberi makan kepada orang miskin sebagai pengganti dari puasa.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

Artikel www.KonsultasiSyariah.com