Selasa, 19 Juli 2011

Tegar Di Atas Sunnah

Tegar Di Atas Sunnah


Terpaksa Cukur Jenggot

Posted: 19 Jul 2011 05:00 PM PDT

السؤال : السلام عليكم انا ياشيخ طبيب وقمت بحلق لحيتي ودلك للحصول على جواز سفر فهل انا معدور ,وما هو حد اللحية الدي يمكن معه تقليل الادى

Pertanyaan, "Saya adalah seorang dokter. Kupangkas habis jenggotku demi mendapatkan paspor. Adakah kelonggaran untuk perbuatanku ini? Apa batasan jenggot yang boleh dipangkas dalam kondisi semacam ini?"

الإجابه:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته . إذا قمت معذورا بذلك بأن لا تستطيع ؟أن تحصل على حق من حقوقك إلا بحلق اللحيه فأنت معذور إن شاء الله والإثم على من ألزمك بذلك والله أعلم

Jawaban Syaikh Abdul Muhsin al 'Ubaikan, "Anda tidak berdosa karena perbuatan tersebut jika memang anda tidak bisa mendapatkan apa yang menjadi hak anda melainkan dengan memangkas habis jenggot. Insya Allah, anda tidak berdosa. Yang berdosa adalah pihak yang mengharuskan anda melakukan perbuatan tersebut".

Sumber:

http://al-obeikan.com/show_fatwa/306.html

Artikel www.ustadzaris.com

Catatan:
Demikian pendapat Syaikh Abdul Muhsin al Ubaikan. Tidak menutup kemungkinan adanya pandangan lain dalam masalah ini.

Sudah membaca yang ini?

Konsultasi Syariah: Perbedaan Mathla’ Suatu Negeri

Konsultasi Syariah: Perbedaan Mathla’ Suatu Negeri


Perbedaan Mathla’ Suatu Negeri

Posted: 19 Jul 2011 08:03 PM PDT

Pertanyaan:

Ada orang berpendapat agar menyatukan semua matha’ (terbitnya bulan) dengan mathla’ Makkah karena dia mengingingkan kesatuan umat dan masuk bulan Ramadhan yang penuh berkah dan lain-lain secara bersama-sama. Bagaimana pendapat Anda dalam hal ini?

Jawaban:

Fenomena semacam ini bila ditinjau dari sudut pandang ilmu falak tidak mungkin, karena mathla’ hilal (tempat terbitnya hilal), seperti yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, berbeda-beda menurut kesepakatan para ilmuwan di bidangnya. Jika mathla’-nya berbeda, maka berdasarkan dalil atsari (berdasarkan nash) maupun dalil nadzari (berdasarkan logika) menunjukkan bahwa setiap tempat mempunyai hukumnya sendiri-sendiri.

Berdasarkan dalil atsari, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir ( di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (QS. al-Baqarah: 185).

Jika realitasnya bahwa manusia di ujung bumi tidak menyaksikan bulan (hilal) dan penduduk Makkah menyaksikan hilal, bagaimana mengemukakan isi kandungan ayat ini kepada orang-orang yang belum menyaksikan bulan? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صُمُوا لِرُؤْيَتِهِ وَافْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ. (متفق عليه)

"Berpuasalah kamu karena kamu melihatnya (hilal) dan berbukalah kamu karena kamu melihatnya." (HR. Muttafaq’alaih).

Jika misalnya orang Arab telah melihat hilal, mungkinkah kita memaksa orang-orang Pakistan dan orang-orang Timur lainnya untuk berpuasa, sementara kita tahu bahwa hilal belum muncul di ufuk mereka, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan puasa dan berbuka dengan ru’yah (melihat bulan).

Sedangkan dalil nadzari (logika) yaitu dengan qiyas yang benar yang tidak mungkin ditentang; kita tahu bahwa fajar muncul dulu dari arah timur sebelum barat. Jika fajar muncul di arah timur apakah kita harus menahan diri dari makan, padahal pada saat itu kita masih berada di waktu malam? Jawabannya tentu tidak. Jika matahari sudah tenggelam di bumi bagian timur, tetapi di tempat kita masih siang, apakah kita boleh berbuka pada saat itu? Jawabnya adalah tidak. Begitu juga hilal, peredaran hilal persis seperti peredaran matahari. Perhitungan waktu pada hilal sifatnya bulanan, sedangkan perhitungan waktu matahari adalah harian.
Allah yang berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسُُ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسُُ لَّهُنَّ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikian Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa." (QS. al-Baqarah: 187) juga berfirman,

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (QS. al-Baqarah: 185).

Berdasarkan kandungan dalil baik dalil atsari, maupun dalil nadzari di atas menunjukkan, bahwa setiap tempat mempunyai hukumnya sendiri-sendiri yang berkaitan dengan puasa dan hari raya. Hal itu juga berhubungan dengan tanda-tanda indrawi yang diciptakan Allah di dalam Kitab-Nya dan menjadikan Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam Sunnah-Nya, yaitu menyaksikan bulan dan menyaksikan matahari.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Bersantai di Siang Hari Saat Puasa, Sahkah Puasanya?

Posted: 19 Jul 2011 07:44 PM PDT

Pertanyaan:

Jika orang yang berpuasa menghabiskan waktu siangnya untuk bersantai untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga yang sangat, apakah hal itu dapat mempengaruhi sahnya puasa?

Jawaban:

Tindakan tersebut tidak mempengaruhi sahnya puasa dan bahkan di dalamnya ada tambahan pahala karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah, "Pahalamu tergantung kepada kesusahanmu." (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

Jika kepayahan manusia untuk taat kepada Allah semakin besar, maka semakin besar pula pahalanya. Hendaknya dia melakukan sesuatu yang dapat meringankan puasanya seperti berendam dengan air atau duduk di tempat yang dingin.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Salawat yang Singkat

Posted: 19 Jul 2011 03:00 PM PDT

Pertanyaan:

Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ustadz, apakah ucapan berikut “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad” sudah termasuk salawat? Jazakumullahu khairan katsir.

Herbono Utomo (herbono**@***.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Ya, lafal tersebut sudah termasuk salawat. Akan lebih baik jika ditambahi salam, “Allahumma shalli wa sallim ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad.”

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Niat Puasa Ramadhan, Setiap Hari atau Sekali dalam Sebulan?

Posted: 18 Jul 2011 11:06 PM PDT

Pertanyaan:

Apakah dalam bulan Ramadhan kita perlu berniat setiap hari ataukah cukup berniat sekali untuk satu bulan penuh?

Jawaban:

Cukup dalam seluruh bulan Ramadhan kita berniat sekali di awal bulan, karena walaupun seseorang tidak berniat puasa setiap hari pada malam harinya, semua itu sudah masuk dalam niatnya di awal bulan. Tetapi jika puasanya terputus di tengah bulan, baik karena bepergian, sakit dan sebagainya, maka dia harus berniat lagi, karena dia telah memutus bulan Ramadhan itu dengan meninggakan puasa karena perjalanan, sakit dan sebagainya.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

Artikel www.KonsultasiSyariah.com