Jumat, 16 Desember 2011

KonsultasiSyariah: Menyikapi Mertua yang Keras

KonsultasiSyariah: Menyikapi Mertua yang Keras


Menyikapi Mertua yang Keras

Posted: 16 Dec 2011 04:00 PM PST

Menyikapi Mertua yang Keras

Pertanyaan:
Assalamu'alaikum. Ustadz, saya seorang ibu rumah tangga (24th). Sudah 4 tahun saya tinggal dengan mertua karena kebetulan suami saya anak tunggal. Hubungan saya dengan ibu mertua kurang baik. Ibu mertua saya orangnya keras . Suami dan ayah mertua saya tahu itu. Saya ingin pindah dari rumah mertua. Apa sikap saya itu benar? Bagaimana solusinya? Syukron

Jawaban:
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Sebaiknya saudari pelajari dulu penyebab ibu mertua keras wataknya. Sebab, boleh jadi dia orang awam yang tidak mengenal agama Islam dengan baik, lalu dihadapkan dengan masalah yang belum mampu dia pecahkan sehingga dia marah dan berlaku keras, apalagi wanita memang punya sifat kurang akal (logis) dan kurang sabar. Jika kita mengetahui penyebabnya, maka segeralah cari jalan pemecahannya.

Istri hendaknya bersabar atas perkataan mertuanya yang kasar selagi dia tidak memukul atau merusak fisik. Dan istri hendaknya berusaha menanggapinya dengan kata-kata yang baik saat dia sedang marah. Berdoalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala terutama pada malam hari agar ibu mertua menjadi orang yang baik kepada menantu dan orang lain, karena hanya Allah-lah yang membolak-balikkan hati.

Mengapa kami menasihati demikian? Sebab, jika dengan usaha ini sang istri berhasil meluluhkan hatinya, maka kebahagiaan akan dirasakan semua anggota keluarga. Bisa jadi mertua meminta maaf dan menyampaikan alasannya, dan tentu suami juga ikut gembira karena memiliki istri yang bersabar dan ulet mengatasi problematika rumah tangga. Berapa banyak pahala yang akan diraih oleh orang yang mau bersabar?

Jika langkah ini belum juga berhasil, dan ibu mertua memang sulit berubah, bahkan punya dampak yang buruk jika dinasihati terus-menerus, maka tidak mengapa saudari minta pindah rumah jika suami mampu membeli atau menyewa rumah. Akan tetapi hendaknya saudari tetap membantu suami agar dia tetap bisa berbuat baik kepada ibunya dengan tidak merugikan hak istrinya. Dan si istri pun hendaknya sering silaturohmi ke rumah ibu mertuanya, karena kita hidup di dunia ini dihadapkan pada ujian yang berbeda-beda. Maka beruntunglah orang yang sabar dan tabah serta istiqomah ketika menghadapi ujian. Barokallahu fiik. Wallahu a'lam.

Sumber: Majalah Al Mawaddah, Edisi 8 Tahun ke-3 1431 H/Maret 2010

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Materi terkait mertua:

1. Ditolak Calon Mertua.
2. Mertua Marah Ketika Suami Mengajari Agama Istri.

Qadha Puasa Untuk Orang Meninggal

Posted: 15 Dec 2011 11:01 PM PST

Qadha Puasa Untuk Orang Meninggal

Pertanyaan:
Assalamu'alaikum. Ustadz, ada seorang yang sakit sehingga tidak puasa Ramadhan selama satu bulan, dan belum sempat sembuh sudah meninggal dunia. Apakah boleh puasanya diqadha oleh ahli warisnya?

Jawaban:
Pertanyaan semisal juga pernah ditanyakan kepada Syaikh Ibnu Jibrin dengan redaksi: "Jika seorang meninggal dunia dan mempunyai hutang puasa Ramadhan, apakah boleh dipuasakan untuknya? Atau qadha itu hanya untuk hari-hari yang dinadzarkan saja?"

Beliau menjawab,
Imam Ahmad berpendapat bahwa qadha itu hanya untuk yang dinadzarkan. Adapun yang fardhu, maka tidak perlu diqadhakan untuk orang yang telah meninggal dunia, tapi cukup dengan menyedekahkan dari harta yang ditinggalkan sebanyak setengah sha' untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Imam Ahmad berdalil dengna hadits Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam,

"Tidak sah seseorang berpuasa atas nama orang lain, begitu pula tidak sah seseorang shalat atas nama orang lain."

Sementara mayoritas imam berpendapat, bahwa tidak ada perbedaan antara nadzar dan fardhu. Keduanya boleh diqadhakan untuk orang yang telah meninggal dunia, berdasarkan hadits Aisyah, ia berkata: Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Barangsiapa meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa maka dipuasakan oleh walinya."

Hadits yang dijadikan landasan Imam Ahmad mengandung makna bahwa kewajiban itu adalah beban orang-orang yang masih hidup. Dan dalam urusan ibadah, tidak boleh diwakilkan kepada orang lain kecuali dalam kondisi tertentu.

Maka kesimpulannya, bahwa pendapat yang benar insya Allah adalah qadha puasa untuk orang yang telah meninggal dunia bersifat umum, baik puasa fardhu maupun yang dinadzarkan.

(Fatwa ash-Shiyam disusun oleh Rasyid az-Zahrani, hlm. 124-125)

Sumber: Majalah Al Mawaddah Edisi 8 Tahun ke-3 1431 H/Maret 2010

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Materi terkait qadha puasa:

1. Menggabungkan Niat Puasa Sunnah dengan Qadha Puasa Ramadhan.
2. Tata Cara Qadha Puasa.