Rabu, 17 Agustus 2011

Tegar Di Atas Sunnah

Tegar Di Atas Sunnah


Bagaimana Ketaatan Kepada Ibu yang Beragama Katolik?

Posted: 16 Aug 2011 05:00 PM PDT

Pertanyaan:

Bismillaah.
Baarokallaahu fiikum,
Teman saya muslim memiliki seorang ibu katolik, bagaimana ketaatan dia
kepada ibunya? apakah ridho ibunya juga dipertimbangkan karena ada
keterangan dari Rasulullah bahha ridho ibu juga merupakan ridho
orangtua?

Mohon penjelasannya, syukron wajazaakallaahu khoir.

Jawaban:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Allah berfirman yang artinya, "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukanku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik" [QS Luqman:15].

Ketika menjelaskan ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan, "Jika keduanya sangat antusias berupaya agar engkau mengikuti keduanya dengan memeluk agama sebagaimana agama keduanya maka janganlah engkau terima bujuk rayu mereka. Namun tindakan orang tua semisal itu janganlah engkau jadikan alasan untuk tidak memperlakukan kedua orang tua dengan baik. Artinya berbuat baiklah kepada kedua orang tua yang masih kafir".

Jadi berupaya menyenangkan hati orang tua yang non muslim adalah perbuatan yang Allah perintahkan selama keinginan orang tua tersebut bukanlah kemaksiatan kepada Allah. Jika hal yang menyenangkan hati ortu itu kemaksiatan maka anak tidak boleh menurutinya meski ortu adalah seorang muslim.

عَنْ عَلِىٍّ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ».

Dari Ali, Nabi bersabda, "Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah" [HR Ahmad no 1095, dinilai sahih sesuai dengan kriteria Bukhari dan Muslim oleh Syaikh Syuaib al Arnauth].

Artikel www.ustadzaris.com

Sudah membaca yang ini?

KonsultasiSyariah: Istriku Selingkuh

KonsultasiSyariah: Istriku Selingkuh


Istriku Selingkuh

Posted: 17 Aug 2011 09:42 PM PDT

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum, Ustadz.

Baru-baru ini keluarga yang telah kami bina selama 8 tahun mengalami badai. Istriku dengan orang lain. Lebih menyakitkan lagi, dia kedapatan sedang mengandung. Menurut dokter, usia kandungannya sudah 5 atau 6 minggu. Sedangkan saya merasa tiap kali berhubungan selalu menggunakan alat pengaman (maaf, kondom). Setelah didesak, istri saya mengaku telah melakukan perbuatan terkutuk tersebut dengan orang lain. Hati saya hancur saat itu, tetapi saya tidak sampai hati pada dua anak kami yang masih kecil-kecil. Anak saya baru 7 tahun dan 3 tahun; keduanya perempuan. Istri saya (menyatakan) menyesal dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Dan saya telah memaafkan dan menerimanya kembali, dengan syarat mau menggugurkan bayi hasil perbuatan terkutuknya, karena saya takut kalau bayi tersebut lahir, saya tidak dapat menahan diri dan selalu mengingat peristiwa tersebut. Yang saya tanyakan, berdosakah saya menyuruh istri saya melakukan , dan apa yang harus saya lakukan sekarang? sampai sekarang, hanya saya dan istri saya yang mengetahui hal ini, mohon jawabannya supaya saya tidak dihantui perasaan berdosa. Terima kasih.

NN (**@yahoo.co.id)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah.

Aborsi dengan sengaja, hukumnya haram. Bayi itu sama sekali tidak bersalah. Menggugurkannya sama dengan berbuat zalim kepadanya.

Tidak kami sarankan untuk mempertahankan istri atau suami yang berzina. Syekh Dr. Anis Thahir, pengajar di Masjid Nabawi dan merupakan seorang ulama ahli hadis, mengatakan, “Saya wasiatkan para suami untuk sabar dengan kekurangan istrinya, kecuali dalam tiga hal:

  1. Istri memiliki akidah yang rusak (kemusyrikan);
  2. Tidak mau ;
  3. Berzina.

Dijawab oleh Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A.

==

Catatan Redaksi:

Aborsi dengan sengaja, hukumnya haram. Bayi itu sama sekali tidak bersalah. Menggugurkannya sama dengan berbuat zalim kepadanya. Ingatlah firman Allah,

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ.9

"Ingatlah apabila para bayi wanita perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya. Dosa apakah yang menyebabkan dia harus dibunuh." (QS. At-Takwir: 8 – 9)

Jawaban apakah yang akan kita persiapkan untuk pertanyaan di atas? Ketika kita berada di hadapan Dzat Yang Maha Adil, yang akan membalas setiap tindakan hamba-Nya sesuai dengan amalnya.

Jika anda keberatan untuk menceraikan, anda boleh mempertahankan istri anda. Dan pastikan bahwa istri anda telah bertaubat. Kemudian untuk status anak yang berada di kandungan adalah anak anda, karena andalah suaminya. Meskipun bisa jadi -bukan menuduh- anak itu sejatinya adalah hasil hubungan dengan lelaki lain.

Dalilnya, dari A’isyah radliallahu ‘anha, dulu Utbah bin Abi Waqqas berpesan kepada saudaranya Sa’d bin Abi Waqqas, bahwa anak budaknya Zam’ah adalah anakku maka ambillah. Di masa penaklukan kota Mekah, Sa’d mengambil anak tersebut. Tiba-tiba Abd bin Zam’ah angkat suara, ‘Dia saudaraku, anak budak bapakku. Dia dilahirkan ketika si wanita tersebut menjadi budak bapakku.’

Akhirnya keduanya berdebat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sa’d berkata, ‘Dia anak saudaraku, lihatlah betapa miripnya dengan saudaraku. Kemudian Abd bin Zam’ah membela, ‘Dia saudaraku, anak dari budak bapakku, ketika ibunya menjadi pasangan ayahku.’

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan, ‘Anak ini milikmu wahai Abd bin Zam’ah.’ Lalu Beliau bersabda,

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلعَاهِرِ الحَجْرُ

"Anak itu menjadi hak pemilik firasy, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian." (HR. Bukhari dan muslim)

Maksud hadis:

Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang lelaki maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si lelaki. Selanjutnya lelaki ini disebut "pemilik firays". Selama sang wanita menjadi firasy lelaki maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil selingkuh yang dilakukan sang istri dengan lelaki lain.

Sedangkan lelaki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikitpun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain. (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10: 37)

Allahu a’lam.

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: istri selingkuh, rumah tangga, selingkuh, aborsi, zina

Cuci Darah ketika Puasa

Posted: 17 Aug 2011 06:45 PM PDT

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaykum. Ustadz, saya sudah baca tanya-jawab mengenai mengeluarkan darah untuk penelitian laboratorium ketika , dan hukumnya tidak membatalkan . Namun untuk bekam, itu membatalkan . Apa dalil yang menunjukkan mengeluarkan darah yang banyak (seperti: bekam) membatalkan , Ustadz? Terus, bagaimana dengan cuci darah, apakah membatalkan puasa juga? Ayah saya melakukan cuci darah seminggu 2 kali. Apakah ayah saya harus mengganti puasanya di hari lain akibat cuci darah? Mohon penjelasannya.

Abu Abdillaah (abu**@***.com)

Jawaban:

Hukum cuci darah ketika puasa

Lajnah Daimah (Komite Tetap untuk Fatwa dan Penelitian Ilmiah) ditanya, “Apakah cuci darah bisa membatalkan puasa?”

Pertama, Lajnah Daimah memberikan kesimpulan dari keterangan tim medis tentang proses cuci darah, yang intinya: mengeluarkan darah dari pasien, dimasukkan ke dalam suatu alat agar dilakukan perawatan tertentu, kemudian dikembalikan ke tubuh pasien. Dalam proses ini, zat kimia dan mineral tertentu ditambahkan ke dalam darah tersebut, seperti: kadar gula, ion tubuh, atau yang lainnya.

Kedua, setelah Lajnah Daimah melakukan pengkajian tentang sistem kerja cuci darah, melalui beberapa informasi dari beberapa pakar kedokteran, mereka memfatwakan bahwa cuci darah membatalkan puasa.

Wa billahit taufiq. (Kumpulan Fatwa Lajnah Daimah, 10:190)

**

Syekh Ibnu Utsaimin ditanya tentang hukum cuci darah ketika puasa. Beliau menjawab, "… Saya khawatir, proses pencucian ini dicampur dengan beberapa nutrisi mineral, sehingga menggantikan makan dan minum. Jika keadaannya demikian, statusnya membatalkan puasa. Oleh karena itu, jika ada orang yang mendapatkan ujian dengan penyakit ini sepanjang hidupnya maka dia tergolong orang yang sakit, yang tidak ada harapan untuk sembuh, sehingga dia boleh membayar fidyah.

Akan tetapi, jika campuran yang disisipkan di darah pasien ketika proses dialisis (cuci darah) bukan nutrisi bagi tubuh, namun hanya sebatas membersihkan dan mencuci darah, maka hal ini tidak membatalkan puasanya, sehingga seseorang boleh mengambil tindakan medis ini meskipun sedang berpuasa. Persoalan semacam ini perlu ditanyakan ke dokter.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 20:113)

Kesimpulan dari Syekh Muhammad Al-Munajid, “Pasien yang harus melakukan cuci darah, puasanya batal di hari dilakukannya tindakan dialisis. Jika masih memungkinkan untuk qadha maka dia wajib qadha. Namun, jika tidak memungkinkan untuk mengqadha maka statusnya sebagaimana orang tua yang tidak mampu puasa. Dia boleh tidak puasa ketika proses cuci darah dan diganti dengan fidyah.”

Sumber: www.islamqa.com

Jawaban ini diterjemahkan oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Membatalkan Puasa Ketika Ingin Safar

Posted: 17 Aug 2011 02:02 AM PDT

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum. Ustadz Pengasuh, mengenai bolehnya untuk berbuka/tidak . Pertanyaannya, bila kita berniat untuk keesokan hari bersafar, apakah kita pada saat esok hari tersebut langsung tidak berpuasa sejak fajar, ataukah kita tetap berpuasa lalu membatalkannya saat di perjalanan?

Ruly Haryanto (**ruly@***.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam.

Allah memberi keringanan kaum muslimin untuk tidak berpuasa ketika safar, dan meng-qadha’nya di hari yang lain, sebagai bentuk kemudahan dan keringanan yang Allah berikan. Allah berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر

"Barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (Q.s. Al-Baqarah:185)

Seseorang belum dinamakan musafir, sampai dia mulai melakukan perjalanan. Adapun semata berniat dan punya keinginan untuk safar maka itu belum memperbolehkannya untuk mengambil rukhshah yang dikaitkan dengan safar. Karena itu, jika semata-mata baru niat maka dia tidak boleh berbuka dan tidak boleh meng-qashar , selama masih mukim.

Orang yang hendak safar, namun belum mulai melakukan perjalanan, dihukumi sebagaimana orang mukim, dia wajib menyempurnakan shalatnya, berpuasa dan tidak berbuka. Barang siapa yang berbuka sebelum memulai safar, dengan alasan telah berniat untuk safar maka dia wajib meng-qadha’ puasanya dan tidak ada kewajiban kafarah. (Diambil dari Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih)

Catatan:

Bagi orang yang hendak safar dan dia sudah siap di atas kendaraan untuk berangkat, diperbolehkan membatalkan puasa. Dalilnya, Muhammad bin Ka’b radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku mendatangi Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu di bulan Ramadan. Ketika itu, beliau hendak safar dan telah siap dia atas kendaraan dan memakai pakaian safar, sementara sebentar lagi matahari akan tenggelam. Kemudian beliau minta diambilkan makanan, lalu beliau makan dan langsung naik kendaraan. Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah ini sunah?’ Anas menjawab, ‘Ya (termasuk sunnah).’” (H.r. Baihaqi dan Turmudzi; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: puasa, shalat, musafir