Senin, 08 Agustus 2011

Tegar Di Atas Sunnah

Tegar Di Atas Sunnah


Hukum Berbicara dengan Wanita

Posted: 08 Aug 2011 05:00 PM PDT

السُّؤال: ربَّما تأتي بعضُ النِّساء -أحيانًا- لتشتريَ مِن دُكَّان، ولا بُدَّ أن يَحدُثَ هُناك حوارٌ كالعرضِ والطَّلب؛ فما الضَّوابط التي يأمرُنا الشَّرعُ بها مِن ناحية جوازِ الكلام مع النِّساء في هذه الصُّورة؟

Pertanyaan, "Terkadang ada wanita yang datang ke toko untuk membeli sesuatu. Tentu saja akan terjadi pembicaraan antara pemilik toko dengan wanita tersebut semisal untuk penawaran barang dari pemilik toko dan permintaan si wanita sebagai konsumen. Kaedah apa sajakah yang diperintahkan oleh syariat terkait dengan bolehnya berbicara dengan wanita dalam kasus semisal ini?"

الجواب: طبعًا الكلامُ سيكونُ في حُدودِ الحاجة -أوَّلًا- والضَّرورة.
وأيضًا؛ لا يكونُ فيه شيءٌ من اللُّيونةِ والتخنُّث في الكلام، ولا يكونُ التبسُّم؛ يعني: يكون الجِد.

Jawaban Syaikh Al Albani, "Tentu saja batasannya adalah pertama, pembicaraan yang terjadi itu sebatas keperluan atau hal-hal darurat yang diperlukan

Kedua, tidak ada suara yang dilembut-lembutkan dan tidak ada diiringi senyuman. Artinya dialog yang terjadi adalah dialog serius.

كمِثل ما لو طَلبت امرأةٌ -مثلًا- جِلبابًا قصيرًا أو جلبابًا مُقصَّرًا، أو فستانًا ضيِّقًا، أو بنطلونًا؛ فيجبُ أن يُبيِّن لها البائعُ الذي يتَّقي الله أن هذا لا يجوزُ في الإسلام، وأن في الحلال ما يُغني.

Jika wanita tersebut hendak membeli semisal jilbab pendek, long dress ketat atau celana panjang penjual berkewajiban untuk memberikan penjelasan kepada wanita tersebut bahwa mengenakan pakaian semacam itu bagi wanita di luar rumah adalah hal terlarang dalam ajaran Islam. Apa yang halal dalam ajaran Islam itu sudah mencukupi" [Sualat al Halabi li Syaikhihi al Imam al Albani 2/545-546].

Sumber:

http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=27847

Artikel www.ustadzaris.com

Artikel Terkait

Lihat Orang Makan Karena Lupa

Posted: 06 Aug 2011 05:00 PM PDT

قد يَنسى بعضُ المُسلِمين بعضًا مِن الأحكام، أو يغفل عن ذلِك، وبخاصَّةٍ في الأيَّام الأولى مِن رَمضان قد يَنسى الإنسَان نفسَه ويأكُل؛ لأنه لم يَعتدْ على الصِّيام -بعدُ- كما كان مُعتادًا على الطَّعام والأكل والشُّرب؛ فالنَّبي -عَليهِ الصَّلاةُ والسَّلامُ- قَالَ -في هؤلاء-: ” إذا نَسِي أحدُكُمْ فَأَكَلَ وشَرِب؛ فَلْيُتِمَّ صَومَه؛ فإنَّما أطعمه الله وسقاهُ “.

Syaikh Ali al Halabi mengatakan, "Sebagian kaum muslimin terkadang lupa atau lalai terhadap sebagian aturan syariat seputar puasa terutama pada hari-hari pertama bulan Ramadhan. Ada orang yang lupa bahwa dirinya sedang berpuasa sehingga dia makan. Ini dikarenan dia tidak terbiasa berpuasa sebagaimana dia telah terbiasa makan dan minum. Untuk orang yang lupa semacam ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian lupa bahwa dirinya berpuasa lalu makan atau minum maka hendaknya tetap dia sempurnakan puasanya karena pada hakikatnya Allah memberi makan dan minum untuknya".

إذًا: مَن أكل أو شَرب ناسيًا؛ فَليُتِمَّ صَومه ولا شيء عَليهِ، حتى لو أكل وشَبِع، حتى لو أكل لقمةً واحدة، أو غير ذلِك.

Jadi, siapa saja yang makan atau minum karena lupa bahwa dirinya sedang berpuasa hendaknya tetap meneruskan puasa dan tidak terbebani hukuman apapun meski dia makan sampai kenyang atau hanya sempat satu suap saja atau kemungkinan lainnya.

وهنا فائِدتان:

الفائدةُ الأولى: أن بعض النَّاس -يَجتهدون من عند أنفسهم- يقول الواحِد منهم: إذا رأيتَ إنسانًا قد نَسِي فأكل أو شَرب؛ فلا تُنكر عَليهِ؛ فإنما أطعمه الله وسقاه!

Catatan:
Sebagian orang memiliki pandangan nyleneh dengan mengatakan, 'Jika anda melihat orang yang lupa bahwa dirinya berpuasa sehingga dia makan atau pun minum maka jangan diingatkan karena Allah memberi makan dan minum kepadanya'.

هذا غير صحيح، هذا لا يَجوز؛ بل أن لا تعلم هل هذا مُتعمِّد أم ناسٍ أم غير ناسٍ؟!

Ini adalah anggapan yang tidak benar. Ini adalah pendapat yang tidak boleh dipraktekkan karena senyatanya anda tidak mengetahui secara pasti apakah dia sengaja makan minum, lupa ataukah tidak lupa.

كما لو كان أحدٌ نائمًا في صلاةِ الفَجر فأذَّن؛ هل تقولُ: ” إنَّما التَّفريط في اليَقظة، وليس التَّفريط في النَّوم” -كما قَالَ النَّبي -عَليهِ الصَّلاةُ والسَّلامُ-، وأن النَّائم مرفوع عنهُ القلَم، أو أنك تُوقِظه؟ وكذلِك الحال -سواء بِسَواء-؛ فيجب أن تَنهاه، فإذا كنتَ حَسَن الظن به أن تُذكِّره: تقول له: أنت تأكل وتَشرب؛ وبالتَّالي أنتَ تقدح في صومِك وتُبطله وتُفسده. هذه النقطة الأولى.

Sebagaimana kasus orang yang masih terlelap tidur saat adzan shalat Subuh berkumandang. Nabi bersabda, "Keteledoran hanya terjadi saat dalam kondisi terjaga. Tidak ada yang disebut teledor saat kondisi tidur". Apakah kita biarkan orang yang lelap tertidur dengan alasan dia tidak berdosa ataukah kita bangunkan orang tersebut? Jawaban untuk kasus shalat ini sama persis dengan kasus puasa.

Jadi kita wajib menegur orang yang makan karena lupa bahwa dirinya berpuasa. Jika kita berbaik sangka kepadanya maka ingatkanlah dirinya bahwa saat ini adalah saat untuk berpuasa".

Sumber:

http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=132988#post132988

Artikel www.ustadzaris.com

Artikel Terkait

KonsultasiSyariah: Hukum Puasa Musafir Pada Zaman Transportasi Modern

KonsultasiSyariah: Hukum Puasa Musafir Pada Zaman Transportasi Modern


Hukum Puasa Musafir Pada Zaman Transportasi Modern

Posted: 08 Aug 2011 07:45 PM PDT

Pertanyaan:

hukumnya pada musafir pada saat ini, karena canggihnya alat-alat transportasi modern, memungkinkan mereka tidak merasa keberatan untuk berpuasa dalam perjalanan?

Jawaban:

Seorang musafir yang berada dalam keadaan seperti itu boleh berpuasa dan boleh juga berbuka, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (Qs. al-Baqarah: 185).

Para sahabat yang keluar dalam perjalanan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada yang berbuka dan ada yang berpuasa, sedangkan Nabi sendiri berpuasa dalam perjalanan, seperti yang dikatakan oleh Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu, "Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan dalam cuaca yang panas terik, sehingga ada sebagian dari kami yang terpaksa meletakkan tangan di atas kepala bagian dari kami yang terpaksa meletakkan tangan di atas kepala untuk berlindung dari panas matahari. Di kalanagan kami tidak ada yang berpuasa selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah." (HR. Muttafaq ‘alaih).

Kaidah bagi seorang musafir, dia boleh memilih antara berbuka dan puasa, tetapi jika puasa tidak memberatkannya, maka itu lebih baik; karena puasa dalam perjalanan mempunyai tiga faidah:

Pertama, mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua, mudah, atau mudah puasa bersama orang banyak; karena jika seseorang berpuasa bersama-sama dengan orang banyak lebih ringan (mudah) baginya.

Ketiga, cepat terbebas dari tanggung jawab.

Jika dia merasa keberatan untuk berpuasa, maka sebaiknya dia tidak berpuasa. Tidak baik berpuasa di perjalanan dalam keadaan seperti ini, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang lemas dan orang-orang berkerumun di sekitarnya. Nabi bertanya, "Mengapa dia?" Mereka menjawab, "Berpuasa." Beliau bersabda, "Tidak baik puasa dalam perjalanan." (HR. al-Bukhari dan Muslim). Hadits ini berlaku umum bagi siapa saja yang mengalami kesulitan untuk berpuasa di perjalanan.
Dengan demikian kami katakan, "Jika perjalanan di waktu sekarang mudah – seperti yang dikatakan penanya – sehingga tidak memberatkan kebanyakan musafir untuk berpuasa, jika puasa tidak memberatkannya, maka lebih baik dia berpuasa."

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, , , Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Berbuka Puasa Di Pesawat

Posted: 08 Aug 2011 03:01 PM PDT

Pertanyaan:

Kami akan terbang dengan pesawat atas ijin Allah dari Riyadh pada bulan kira-kira satu jam sebelum adzan Maghrib. Maka, adzan akan berkumandang di saat saya berada di atas udara Su’udiyah. Apakah kami boleh berbuka? Dan jika kami bisa melihat matahari ketika di udara dan begitulah biasanya, maka apakah kami tetap melanjutkan shaum ataukah berbuka di negeri kami, atau berbuka dengan patokan adzan di Arab Saudi?

Jawaban:

Jika pesawat terbang dari Riyadh misalnya, sebelum matahari terbenam menuju arah barat, maka Anda tetap shaum hingga matahari terbenam, sedangkan Anda masih di udara, atau ketika Anda turun di suatu negeri di saat matahari telah tenggelam, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَت أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

"Jika malam telah datang dari arah sini dan waktu siang telah berlalu dari sini, serta matahari telah tenggelam, maka itulah saatnya orang yang shaum boleh berbuka." (Muttafaq ‘alaih).

Sumber: Fatawa Syaikh Bin Baaz Jilid 1, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Gusi Berdarah saat Puasa

Posted: 08 Aug 2011 01:50 AM PDT

Pertanyaan:

Apakah darah yang keluar dari gusi orang yang berpuasa dapat membatalkan ?

Jawaban:

Darah yang keluar dari gigi (gusi) seseorang tidak membatalkan puasa, tetapi dia harus berhati-hati sedapat mungkin agar tidak menelannya. Begitu juga jika keluar darah dari hidungnya (mimisan) asal tidak berusaha menelannya, hukumnya tidak membatalkan puasa dan tidak wajib meng-qadha’. ( Tuntunan Tanya Jawab Akidah, , , Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007)

Catatan: Menelan Ludah Tercampur Darah

Syaikh Ibn Baz juga ditanya tentang orang puasa yang menelan ludah, yang ada rasa darahnya. Beliau menjelaskan:
Untuk ludah maka dibolehkan menelannya. Seseorang menelan ludahnya, hukumnya tidak mengapa….Akan tetapi jika dalam ludah tersebut kecampuran sesuatu, seperti sisa makanan di sela-sela gigi, baik daging, roti, buah, atau darah ketika gosok gigi, maka dalam hal ini bisa dirinci:

Pertama, jika dia mengetahui hal itu maka tidak boleh dengan sengaja menelannya, namun wajib meludahkannya.

Kedua, jika dia tidak tahu, tetapi… dia anggap seperti ludah biasa, kemudian setelah ditelan dia merasakan ada darahnya maka tidak membatalkan puasanya. Karena dia tidak sengaja. Hal ini sebagaimana orang yang berkumur atau menghirup air ke dalam hidung, tiba-tiba tidak sengaja ada yang masuk ke kerongkongannya. (Fatwa Syaikh Abdul Aziz : http://www.binbaz.org.sa/mat/13437)

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: , ,

Hukum Menunda Zakat sampai Ramadan

Posted: 07 Aug 2011 10:42 PM PDT

Bismillah ….

Bulan Ramadan, musim beramal. Demikian keyakinan banyak orang. Anggapan semacam ini bisa kita nilai benar, mengingat banyaknya dalil yang menunjukkan keutamaan orang yang beramal di bulan ini. Hanya saja, perlu diperhatikan bahwa anggapan ini tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda kewajiban yang telah ditetapkan waktunya oleh syariat. Semacam .

Untuk lebih fokus, kita hanya mengkritisi zakat mal, karena hampir tidak dijumpai ada orang Indonesia yang berkewajiban membayar zakat pertanian atau hewan ternak. Sebagaimana yang kita pahami, syarat wajib zakat mal ada dua:

  1. Mencapai nishab, yaitu senilai 83 gram emas.
  2. Genap haul, artinya harta sebesar satu nishab itu telah disimpan selama setahun, menurut kalender hijriah. Ini perlu ditegaskan karena selisih kalender hijriah dengan kalender masehi kurang lebih 11 hari; kalender hijriah lebih cepat.

Ketika sudah genap haul, artinya sudah jatuh tempo, maka zakat harus segera dibayarkan dan tidak boleh ditunda kecuali karena alasan yang dibenarkan syariat. Namun, terkadang kita jumpai ada beberapa pengusaha muslim yang mengakhirkan pembayaran zakatnya sampai Ramadan. Bisa jadi, dia tunda sebulan atau dua bulan, agar bisa dikeluarkan di bulan Ramadan. Harapannya, bisa mendapatkan pahala yang lebih besar. syariat dalam masalah ini? Mari kita simak penjelasan Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Munajid dalam situs beliau, www.islamqa.com.

Tanya:

Saya mendengar bahwa mengeluarkan zakat di bulan Ramadan lebih baik daripada membayarnya di luar bulan Ramadan. Apakah ini benar? Apa dalilnya? Perlu diketahui, waktu jatuh tempo pembayaran zakat seharusnya adalah sebelum atau sesudah Ramadan.

Jawab:

Pertama, jika harta yang sudah mencapai nishab (senilai 83 gram emas) telah disimpan selama setahun hijriah maka zakatnya wajib dikeluarkan seketika itu. Allah berfirman,

سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

"Bersegeralah menuju ampunan Rabb kalian (Allah), dan surga yang lebarnya seluas langit dan bumi." (Q.s. Al-Hadid:21)

Ibnu Baththal mengatakan, “Sikap yang baik, hendaknya orang menyegerahkan dalam beramal karena berbagai halangan menghadang, banyak rintangan yang mungkin muncul, kematian tidak bisa diprediksi, dan menunda amal bukanlah sikap yang terpuji.”

Ibnu Hajar menambahkan, “Segera beramal akan lebih cepat menggugurkan kewajiban, lebih jauh dari sikap menunda-nunda yang tercela, mengundang ridha Allah, dan menghapuskan dosa.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 3:299)

Kedua, tidak boleh mengakhirkan pembayaran zakat setelah haul (genap disimpan setahun) kecuali karena uzur (alasan) yang dibenarkan.

Ketiga, boleh mengeluarkan zakat sebelum waktu jatuh tempo, sebagai bentuk menyegerakan pembayaran. Dalilnya: Dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyegerahkan pembayaran zakat milik Abbas untuk masa zakat dua tahun. (H.r. Al-Qasim bin Sallam dalam Al-Amwal, no. 1885; dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’)

Disebutkan dalam riwayat yang lain, dari Ali, bahwa Abbas meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyegerakan pembayaran zakatnya sebelum haul (setahun), dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya. (H.r. Turmudzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Syekh Ahmad Syakir dalam Tahqiq Musnad Ahmad)

Keempat, banyak beramal dan memberikan sedekah di bulan Ramadan lebih utama dibandingkan di luar bulan Ramadan. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma; beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling dermawan. Beliau lebih dermawan lagi jika di bulan Ramadan, ketika Jibril datang kepadanya. Jibril mendatanginya setiap malam di bulan Ramadan kemudian mengajarkan Alquran kepada beliau. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan dalam memberikan kebaikan melebihi angin yang berembus.” (H.r. Bukhari dan Muslim)

Imam An-Nawawi mengatakan, "Di antara pelajaran dari hadis: dianjurkannya lebih banyak berderma ketika Ramadan." (Syarh Shahih Muslim, 15:69)

Karena itu, orang yang zakatnya seharusnya dibayar di bulan Ramadan atau setelah bulan Ramadan, kemudian dia menyegerakan pembayarannya untuk mendapatkan keutamaan berzakat di bulan Ramadan, maka hal itu diperbolehkan. Adapun, orang yang zakatnya harus dikeluarkan sebelum Ramadan (misalnya di bulan Rajab), kemudian ditundanya agar bisa dibayarkan di bulan Ramadan maka praktik semacam ini tidak diperbolehkan, karena zakat tidak boleh ditunda dari waktu yang telah ditetapkan, kecuali karena uzur.

Kelima, terkadang ada sebab tertentu, sewaktu mengeluarkan zakat pada saat itu lebih utama daripada berzakat di bulan Ramadan. Misalnya, ketika sedang terjadi krisis dan kelaparan yang melanda sebagian negeri Islam; atau karena banyak orang kaya yang membayar zakatnya di bulan Ramadan, sehinga kebutuhan orang miskin sudah tercukupi, sementara di selain Ramadan tidak ada orang yang memberi zakat. Pada keaadaan ini, mengeluarkan zakat lebih utama dibandingkan di bulan Ramadan.

Keenam, boleh menunda pembayaran zakat karena uzur yang diperbolehkan syariat. Misalnya, dalam memerhatikan kemaslahatan dan distribusi kebutuhan orang miskin.

Syekh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Boleh menunda pembayaran zakat karena memerhatikan kemaslahatan orang miskin, bukan untuk menyusahkan mereka. Seperti, di tempat kita ketika bulan Ramadan, banyak orang yang mengeluarkan zakat, sehingga kebutuhan orang miskin sudah tercukupi. Akan tetapi, di musim dingin di luar Ramadan, mereka lebih membutuhkan bantuan, sedangkan jarang ada orang yang mengeluarkan zakatnya saat itu. Dalam keadaan ini, pembayaran zakat boleh ditunda karena itu lebih baik bagi orang yang berhak menerimanya.” (Syarhul Mumthi’, 6:189)

Sumber: http://www.islamqa.com/ar/ref/8400

Diterjemahkan oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: , ,