Kamis, 22 September 2011

KonsultasiSyariah: Biaya Pernikahan di KUA

KonsultasiSyariah: Biaya Pernikahan di KUA


Biaya Pernikahan di KUA

Posted: 22 Sep 2011 06:11 PM PDT

Biaya pernikahan di KUA, tanggung jawab siapa?

Assalamu ‘alaikum. Ustadz, saya ingin bertanya. Dalam hukum perkawinan Islam, siapakah yang berkewajiban membayar biaya akad nikah, dari mempelai pria atau mempelai wanita? Mohon hadits atau sunnah Rasulnya apabila ada.

Saya bingung karena adat dan kebiasaan kota saya dan kota calon suami saya berbeda. Di kota suami saya, yang berkewajiban membayar biaya pernikahan itu dari pihak wanita, sedangkan di kota saya, pihak laki-lakilah yang berkewajiban membayar biaya tersebut karena memang hal tersebut sudah tanggung jawab dari pihak pria apabila akan menikah.

krisnatami (**krisnatami@***.com)

Jawaban siapakah menanggung biaya pernikahan:

Wa’alaikumussalam.

Standardnya adalah agama, bukan hukum adat. Umumnya masyarakat sekitar kita menganggap bahwasanya walimah adalah tanggung jawab wali atau pihak keluarga mempelai wanita. Satu adat yang menggambarkan betapa mahalnya nilai laki-laki di Indonesia. Sampai-sampai, dalam masalah nikah, pihak keluarga mempelai wanita rela untuk menanggung atau minimal memberikan sumbangan lebih banyak dibandingkan wali laki-laki atau mempelai pria. Namun apakah adat semacam ini sesuai syariat?

Jika kita perhatikan hadis-hadis yang mensyariatkan adanya walimah, maka zahir hadis menunjukkan bahwa yang bertanggung jawab mengadakan walimah adalah mempelai pria bukan istrinya dan bukan pula wali sang istri. Sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pernikahan istri-istri beliau dan juga perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu. Ini menunjukkan bahwa kewajiban walimah ditanggung oleh sang suami.

Sebagian ulama memberikan alasan bahwa di samping makna zahir dari hadis di atas, bahwasanya walimah menjadi tanggung jawab suami karena sang suamilah yang berkewajiban menafkahi istri, dan kewajiban nafkah ini mencakup pelaksanaan pesta pernikahan keduanya. (Lihat Taudhihul Ahkam, 4:506)

Hanya saja, diperbolehkan bagi mempelai wanita untuk menanggung biaya nikah. Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh ditanya tentang walimah yang biayanya dari keluarga pengantin wanita, apa landasannya? Beliau rahimahullah menjawab, “Mungkin (dibolehkan) karena keumuman, meskipun hukum asal walimah dilakukan oleh pihak suami (pengantin pria).” (Kumpulan Fatwa dan Risalah Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh, 10:160)

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

****

Artikel tambahan yang berkaitan dengan bisa lihat link di bawah ini:

Siapakah yang menanggung biaya pernikahan untuk walimahan?

Shalat Sunah Qabliyah Jumat

Posted: 21 Sep 2011 11:17 PM PDT

sunah

Sebenarnya ada tidak shalat jumat Ada banyak pendapat yang mengatakan, shalat sunah sebelum jumat itu tidak dikerjakan oleh Rasul, yang ada hanya shalat sunah setelah shalat Jumat (ba’diyah). Sebenarnya bagaimana ini?

Zulkifli (Joule_**@yahoo.***)

Jawaban tentang shalat sunah qabliyah jumat:

Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah.

Sebelumnya, perlu dibedakan antara shalat sunah khusus dengan shalat sunah mutlak. Shalat sunah khusus adalah shalat sunah yang dibatasi oleh jumlah rakaat, waktu, atau sebab tertentu. Misalnya, shalat sunah rawatib sebelum zuhur. Adapun shalat sunah mutlak adalah sebaliknya, tidak terikat dengan jumlah rakaat, waktu, atau sebab tertentu.

Pada penjelasan di atas, telah ditegaskan bahwasanya shalat sunah sebelum shalat Jumat sifatnya mutlak. Tidak terikat dengan jumlah rakaat dan waktu tertentu. Ini adalah pendapat Syafi’iyah dan bahkan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana yang disampaikan oleh An-Nawawi. Di samping itu, tidak terdapat satu pun riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunah khusus sebelum shalat Jumat.

Terdapat riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat empat rakaat tanpa dipisah dengan salam sebelum shalat Jumat. Riwayat ini dibawakan oleh Ibnu Majah, namun sanadnya sangat lemah sekali, sehingga tidak bisa dijadikan dalil.

Untuk melengkapi pembahasan, di bawah ini kami sebutkan beberapa alasan orang yang berpendapat adanya shalat sunah qabliyah Jumat, beserta bantahan atas pendapat tersebut:

A. Riwayat bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat dua rakaat sebelum shalat Jumat dan sesudahnya.

Bantahan:
Riwayat di atas dan beberapa riwayat lainnya yang semakna, adalah riwayat yang lemah sekali. Sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Sebagaimana dijelaskan Syekh Abdul Quddus Muhammad Nadzir dalam Ahaditsu Al-Jum’ah, hlm. 315–316.

B. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiasakan shalat empat rakaat tanpa dipisah salam sebelum zuhur. Shalat ini dikenal dengan “shalat zawal”.

Bantahan:
Hadis ini khusus untuk shalat zuhur, dan tidak bisa disamakan dengan shalat Jumat karena dalam hadis secara tegas disebutkan, “… Setelah matahari tergelincir sebelum shalat zuhur.” Padahal, shalat sunah sebelum shalat Jumat boleh dilakukan sebelum matahari tergelincir karena shalat ini dikerjakan sebelum khotbah, sedangkan khotbah Jumat boleh dimulai sebelum tergelincirnya matahari.

Di samping itu, menyamakan shalat Jumat dengan shalat zuhur adalah analogi yang salah karena shalat Jumat itu berdiri sendiri dan tidak ada hubungannya dengan shalat zuhur. (Zadul Ma’ad, 1:411)

C. Hadis Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, yang menjelaskan bahwa beliau melakukan shalat sunah sebelum shalat Jumat dan dua rakaat sesudahnya. Kemudian, Ibnu Umar menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu juga melakukan hal demikian. Penegasan Ibnu Umar ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunah sebelum shalat Jumat.

Bantahan:
Dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari, 3:351), “Ucapan Ibnu Umar, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan hal demikian,’ maksudnya adalah menceritakan tentang shalat dua rakaat sesudah shalat Jumat bukan shalat sunah sebelum shalat Jumat. Berikut ini alasannya:

  • Jika yang dimaksud ‘memperlama shalat sunah sebelum shalat Jumat’ itu dilakukan setelah masuknya waktu maka ini tidak mungkin dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena setelah masuk waktunya jumatan, beliau langsung masuk masjid dan langsung berkhotbah. Sehingga tidak mungkin melakukan shalat sunah apalagi memperlama bacaannya.
  • Terdapat riwayat lain yang semakna dengan riwayat Ibnu Umar di atas. Yaitu bahwasanya beliau shalat Jumat kemudian langsung pulang dan shalat dua rakaat di rumahnya. Kemudian Ibnu Umar mengatakan, ‘Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini.’”

D. Keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Di antara dua azan, ada shalat sunah.”

Bantahan:
Alasan ini telah dijawab Ibnul Qayyim sebagai berikut, “… Setelah Bilal selesai berazan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhotbah, dan tidak ada satu pun sahabat yang melakukan shalat dua rakaat, dan azan hanya sekali. Ini menunjukkan bahwasanya shalat Jumat itu sebagaimana shalat ‘id, tidak ada shalat sunah sebelumnya. Ini adalah pendapat yang paling kuat di antara dua pendapat ulama (dalam masalah ini), dan demikianlah yang ditunjukkan oleh sunah, karena setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah, beliau naik mimbar dan Bilal langsung mengumandangkan azan shalat Jumat.

Setelah selesai azan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhotbah, tanpa ada jeda waktu. Ini diketahui oleh semua orang. Kalau begitu, bagaimana mungkin sahabat bisa (punya waktu) shalat sunah (sebelum shalat Jumat)? Oleh karena itu, siapa saja yang meyangka bahwa setelah Bilal berazan, para sahabat melakukan shalat sunah, maka dia adalah orang yang paling bodoh terhadap ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang telah kami sebutkan di atas, bahwasanya tidak ada shalat sunah khusus sebelum shalat Jumat adalah pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, dan pendapat paling mayoritas di antara ulama Syafi’iyah.” (Zadul Ma’ad, 1:411)

Ibnu Al-Hajj mengatakan dalam Al-Madkhal, 2:239, “Sesungguhnya, para sahabat adalah orang yang paling tahu dengan keadaan dan paling paham dengan hadis ini (yaitu antara dua azan ada shalat sunah), maka tidak ada yang bisa menenangkan diri kita selain dengan mengikuti amalan yang mereka lakukan.” (Ahadist Al-Jumu’ah, hlm. 317)

E. Mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunah tersebut di rumahnya, setelah matahari tergelincir, baru kemudian keluar rumah dan berkhotbah.

Bantahan:
Dijawab oleh Abu Syamah, dalam Al-Ba’its, “Andaikan itu terjadi, tentu akan disampaikan oleh para istri beliau, sebagaimana mereka menceritakan tentang shalat sunah yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik siang maupun malam, dan tata caranya …. Dengan demikian, jika tidak ada nukilan riwayat dari mereka maka pada asalnya shalat tersebut tidak ada dan menunjukkan bahwa hal itu tidak pernah terjadi, juga shalat tersebut tidak disyariatkan.” (Al-Ba’its ‘ala Inkar Al-Bida’ wa Al-Hawadits, hlm. 97)

Kesimpulan tentang shalat sunah qabliyah jumat:

Tidak ada shalat sunah qabliyah Jumat. Apalagi jika shalat ini dilaksanakan setelah azan. Adapun shalat sunah yang dikerjakan ketika makmum masuk masjid di sambil menunggu imam, maka itu adalah shalat sunah mutlak, sehingga shalat ini bisa dikerjakan tanpa batasan jumlah rakaat. Allahu a'lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: shalat, mengqadha shalat tahajud, berwudhu, jumatan, qabliyah jumat, batal shalat, tahajud, jamaah, shalat lail, jumat kelabu