Jumat, 11 November 2011

KonsultasiSyariah: Haruskah Jabat Tangan Memasuki Majelis?

KonsultasiSyariah: Haruskah Jabat Tangan Memasuki Majelis?


Haruskah Jabat Tangan Memasuki Majelis?

Posted: 11 Nov 2011 04:00 PM PST

Jabat Tangan ketika Memasuki Majelis

Pertanyaan, "Apakah perbuatan yang dilakukan sebagian orang jika masuk ke suatu ruangan lantas menjabat tangan orang-orang yang sudah hadir terlebih dahulu itu ada dalilnya berupa Alquran, hadis atau perbuatan Rasul?"

Jawaban Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, "Aku tidak mengetahui adanya hadits yang mendukung perbuatan tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya tidak dilakukan. Sebagian orang saat ini jika masuk ke suatu majelis dia akan menjabat tangan semua hadirin yang sudah datang terlebih dahulu dari awal sampai akhir.

Sebatas pengetahuanku, hal ini tidaklah dituntunkan. Jabat tangan hanya dituntunkan ketika berjumpa. Sedangkan jabat tangan ketika masuk ke suatu majelis maka ini tidaklah dilakukan oleh rasul tidak pula para sahabatnya. Yang dilakukan oleh Rasulullah jika beliau memasuki suatu majelis beliau langsung duduk di tempat yang masih longgar. Kami belum pernah mendengar riwayat yang mengatakan bahwa ketika Nabi duduk di tempat longgar yang ada pada suatu majelis yang beliau datangi para sahabat lantas berdiri dan menjabat tangan beliau.

Jadi jabat tangan semacam itu adalah suatu hal yang tidak dituntunkan. Aku pribadi pernah menanyakan hal ini kepada salah seorang guru andalan kami. Jawaban beliau, "Aku tidak mengetahui dalil hadits yang mendukung perbuatan tersebut.”

Sebagian orang jika masuk ke suatu ruangan sambil membawa kopi atau air teh, dia akan menuangkan minuman yang dia bawa kepada orang yang ada di sisi kanannya meski dia anak kecil karena anggapan dianjurkannya mendahulukan yang kanan dalam segala sesuatu. Ini juga termasuk perbuatan yang tidak dituntunkan.

Yang benar, jika anda masuk ke suatu ruangan membawa minuman maka dahulukan yang paling sepuh lalu berikan kepada orang yang ada di sisi kananmu. Karena Nabi bermimpi melihat dua orang lantas beliau ingin memberikan kayu siwak yang ada di tangan beliau kepada salah seorang diantara keduanya. Lantas ada yang mengatakan kepada beliau, "Dahulukan yang lebih tua usianya baru yang lebih muda!”

Jika kita duduk di suatu posisi dan di sisi kanan dan kiri kita ada orang lalu kita ingin memberi sesuatu kepada mereka maka dahulukan yang ada di sisi kanan karena dalam hal ini ada sisi kanan dan sisi kiri. Sedangkan jika orang-orang yang akan anda beri sesuatu itu ada di depan anda maka dahulukan orang yang paling sepuh.
Jadi jika anda memasuki suatu majelis sambil membawa kopi atau air teh maka dahulukanlah orang yang paling sepuh baru orang yang ada di sisi kananmu." (Liqa' al Bab al Maftuh 18/32, Maktabah Syamilah).

Oleh: Ustadz Aris Munandar, M.A. (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Materi terkait:

1. Bunyi HP Saat Shalat Jamaah.

2.Segan Dengan Seseorang, Cium Tangan Sambil  Bungkuk Badan.

3. Jabat Tangan Ketika Shalat.

Lafal Ijab Kabul Akad Nikah yang Benar

Posted: 10 Nov 2011 10:56 PM PST

Lafal Ijab Kabul Akad Nikah

Assalamu’alaikum.
Ustadz, bagaimanakah ucapan atau lafal ijab kabul pernikahan yang benar menurut islam?
Mohon penjelasan.

Donar

Jawaban:

Wa’alaikum salam.

Di antara rukun nikah adalah adanya ijab kabul. Ijab adalah perkataan wali pengantin wanita kepada pengantin pria: Zawwajtuka ibnatii…, saya nikahkan kamu dengan putriku…. Sedangkan kabul adalah ucapan pengantin pria: Saya terima…
Jika sudah dilakukan ijab kabul dan dihadiri dua saksi laki-laki atau diumumkan (diketahui halayak), maka nikahnya sah.
Dalam pengucapn ijab kabul, tidak disyaratkan menggunakan kalimat tertentu dalam ijab kabul. Akan tetapi, semua kalimat yang dikenal masyarakat sebagai kalimat ijab kabul akad nikah maka status nikahnya sah.

Lajnah Daimah ditanya tentang lafadz nikah. Mereka menjawab,
Semua kalimat yang menunjukkan ijab kabul maka akad nikahnya sah dengan menggunakan kalimat tersebut, menurut pendapat yang lebih kuat. Yang paling tegas adalah kalimat: ‘zawwajtuka’ dan ‘ankahtuka’ (aku nikahkan kamu), kemudian ‘mallaktuka’ (aku serahkan padamu).
Fatawa Lajnah Daimah (17:82).
Demikian penjelasan di: http://www.islamqa.com/ar/ref/155354

Bolehkah akad nikah (ijab kabul) dengan selain bahasa Arab?

Pendapat yang lebih kuat, bahwa akad nikah sah dengan selain bahasa Arab, meskipun dia bisa bahasa Arab. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah:
Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang tidak bisa bahasa Arab boleh melakukan akad nikah dengan bahasa kesehariannya. Karena dia tidak mampu berbahasa Arab, sehingga tidak harus menggunakan bahasa arab. Sebagaimana orang bisu.
Kemudian disebutkan perselisihan ulama tentang akad nikah dengan selain bahasa Arab, yang kesimpulannya:

  • Akad nikah sah dengan bahasa apapun, meskipun orangnya bisa bahasa Arab. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah – menurut keterangan yang lebih kuat –, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qudamah. Dalam hal ini kedudukan bahasa non-Arab dengan bahasa Arab sama saja. Karena Orang yang menggunakan bahasa selain Arab, memiliki maksud yang sama dengan orang yang berbahasa Arab.
  • Akad nikah tidak sah dengan selain bahasa Arab. Meskipun dia tidak bisa bahasa Arab. Ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyah. Mereka beralasan bahwa lafadz ijab kabul akad nikah statusnya sebagaimana ketika yang hanya boleh diucapkan dengan bahasa Arab.
  • Akad nikah sah menggunakan selain bahasa Arab, dengan syarat pelakunya tidak bisa bahasa Arab. Jika pelakunya bisa bahasa Arab maka harus menggunakan bahasa Arab. Ini adalah pendapat ketiga dalam madzhab syafii.

(Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah: 11:174).

Apakah harus disebutkan nama pengantin wanita?

Diantara syarat sahnya nikah adalah adanya kejelasan masing-masing pengantin. Seperti menyebut nama pengantin wanita atau dengan isyarat tunjuk, jika pengantin ada di tempat akad. Misalnya, seorang wali pengantin wanita berkata kepada pengantin lelaki “Aku nikahkan kamu dengan anak ini, kemudian si wali menunjuk putrinya yang berada di sebelahnya.” hukum akad nikahnya sah.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Diantara syarat nikah adalah adanya kejelasan pengantin. Karena orang yang melakukan akad dan yang diakadkan harus jelas. Kemudian dilihat, jika pengantin wanita ada di tempat akad, kemudian wali mengatakan, ‘saya nikahkan anda dengan anak ini’ maka akad nikahnya sah. Karena isyarat sudah dianggap penjelasan. Jika ditambahi, misalnya dengan mengatakan, ‘saya nikahkan kamu dengan anakku yang ini’ atau ‘…dengan anakku yang bernama fulanah’ maka ini sifatnya hanya menguatkan makna.
Jika pengantin wanita tidak ada di tempat akad maka ada dua keadaan:

  • Wali hanya memiliki satu anak perempuan. Maka dia boleh mengatakan, “Saya nikahkan anda dengan putriku” Jika disebutkan namanya maka statusnya hanya menguatkan.
  • Wali nikah memiliki anak perempuan lebih dari satu. Wali ini tidak boleh menggunakan kalimat umum, misalnya mengatakan, “Saya nikahkan kamu dengan putriku” Dalam keadaan ini akad nikahnya tidak sah, sampai si wali menyebutkan ciri khas salah satu putrinya yang hendak dia nikahkan, baik dengan menyebut nama atau sifatnya. Misalnya dia mengatakan, “Saya nikahkan kamu dengan putriku yang pertama atau yang bernama…” (Al-Mughni, 7:444).

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Materi terkait:

1. Urutan Wali Nikah.

2. Biaya Pernikah KUA, Siapa yang Menanggung?

3. Mau Menikah Sirri.

Tegar Di Atas Sunnah

Tegar Di Atas Sunnah


Menghukum Anak Dengan Sambal

Posted: 10 Nov 2011 04:00 PM PST

هل يجوز للأب أو الأم معاقبة الطفل بالضرب أو وضع شيء مر أو حار في فمه كالفلفل إذا أرتكب خطأ ؟

Pertanyaan, "Apakah diperbolehkan bagi orang tua untuk menghukum anaknya dengan memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau pedas semisal lombok di mulutnya saat si anak melakukan kesalahan?"

الجواب: أما تأديبه بالضرب فإنه جائز إذا بلغ سناً يمكنه أن يتأدب منه وهو غالباً عشر سنين،

Jawaban Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, "Mendidik anak dengan memukulnya hukumnya adalah diperbolehkan dengan syarat anak sudah memasuki usia yang memungkinkan baginya untuk memahami maksud orang tua dengan hukuman pukulan tersebut, umumnya anak dalam kondisi semisal ini manakala dia sudah berusia sepuluh tahun.

وأما إعطاؤه الشيء الحار فإن هذا لا يجوز ، لأن هذا يؤثر عليه وقد ينشأ من ذلك حبوب تكون في فمه أو حرارة في معدته.
ويحصل بهذا ضرر بخلاف الضرب فإنه على ظاهر الجسم فلا بأس به إذا كان يتأدب به ، وكان ضرباً غير مبرح .

Sedangkan menghukum dengan memberikan kepadanya sesuatu yang pedas maka ini adalah suatu yang tidak diperbolehkan karena hukuman dengan model semacam ini bisa memberi pengaruh pada fisik tubuhnya, boleh jadi mulutnya kepedasan atau lambungnya terasa panas karenanya. Pada akhirnya ada gangguan fisik pada diri anak. Lain halnya menghukum dengan pukulan maka hukuman ini hanya tertuju pada bagian luar fisik anak dan hukumnya adalah diperbolehkan dengan dua syarat:

Pertama, si anak telah berada pada usia yang menyebabkan dia bisa memahami maksud dari pukulan tersebut

Kedua, pukulan yang diberikan kepadanya bukanlah pukulan yang menyakitkan [baca: menyebabkan bengkak dsb, pent]"

Sumber:
http://www.ibnothaimeen.com/all/books/article_16956.shtml

Artikel Terkait