Rabu, 11 Januari 2012

KonsultasiSyariah: Bersuci dengan Air Sisa Perempuan

KonsultasiSyariah: Bersuci dengan Air Sisa Perempuan


Bersuci dengan Air Sisa Perempuan

Posted: 11 Jan 2012 06:01 PM PST

Bersuci dengan Air Sisa Perempuan

Pertanyaan:
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya:
Bagaimanakah yang benar tentang bersucinya seorang pria dengan air sisa yang telah dipakai wanita?

Jawaban:

Bersuci dengan Air Sisa Perempuan

Perbedaan pendapat dalam masalah ini cukup terkenal. Adapun pendapat sebagian besar ulama dan satu di antara dua riwayat Imam Ahmad: bahwa tidak dilarang bagi seorang pria untuk bersuci dengan menggunakan air sisa bersuci wanita, apakah itu air sisa dia mandi sendiri ataupun bukan, baik untuk menyucikan hadas besar maupun hadas kecil. Ini adalah pendapat yang benar dan betul berdasarkan hadis mandinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menggunakan sisa air yang telah dipergunakan Maimunah, hadis ini adalah yang lebih shahih dari pada hadis yang melarang seorang pria untuk mandi dengan air sisa yang telah dipergunakan wanita untuk bersuci. Sebagian ahlul ilmi menganggap bahwa hadis terakhir ini adalah tidak benar dan bukan hadis shahih, jadi hadis seperti yang terakhir ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk membantah adanya dalil syar'i yang bersifat umum yang memerintahkan bersuci dengan air apa saja tanpa ada pengecualian, maka setiap air yang belum berubah bentuknya karena terkena najis maka air itu termasuk yang umum, dan juga Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

"Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)." (Al-Maidah: 6)

Ayat ini menerangkan bahwa tidak boleh bertayamum kecuali jika tidak ada air, dan air sisa yang telah digunakan wanita adalah termasuk dalam kategori air. Ini adalah suatu hal yang tidak diragukan lagi, dan Allah Sang pembuat syariat tidak akan melarang sesuatu tanpa alasan jelas (pasti), dan air yang digunakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis Maimunah ini adalah air yang digambarkan dalam sabda beliau lainnya yaitu:

"Sesungguhnya air itu tidak junub (dikotori suatu apapun)."

Seandainya seorang pria dilarang untuk bersuci dengan air sisa yang telah dipergunakan oleh wanita, sementara airnya itu banyak di samping adanya kesulitan (untuk memperoleh air lainnya) karena kondisi umumnya demikian, jika larangan itu memang benar pasti, maka larangan itu akan disampaikan dalam nash-nash shahih yang menerangkan masalah ini. Dengan demikian menjadi jelas pendapat yang benar adalah pendapat yang membolehkan pria bersuci dengan air sisa yang telah digunakan wanita. Sedangkan riwayat Imam Ahmad lainnya yaitu pendapat yang amat dikenal oleh ulama muta'akhirin yang melarang seorang pria untuk bersuci dengan air sisa yang telah dipakai wanita untuk mensucikan hadas, hadis yang mereka gunakan untuk berdalil adalah hadis yang tidak sah untuk dijadikan dalill pada masalah ini karena lemahnya hadis ini dan juga bertentangan dengan beberapa dalil-dalil lainnya. Kemudian juga pengkhususan yang mereka lakukan pada hadas besar saja tidak memiliki dalil yang menunjukkan hal itu.

Sumber: Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 1, Darul Haq, Cetakan VI 2010

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Materi terkait:

1. Tayamum di Kursi Kendaraan.
2. Wudhunya Pemakai Gigi Palsu.
3. Wudhu Bagi Wanita Haid.

keyword: sisa perempuan.

Hakikat Ajaran Syiah (4)

Posted: 11 Jan 2012 03:57 AM PST

Hakikat Ajaran Syiah (4)

Perkataan ulama Islam mengenai Syiah, bagaimana pandangan mereka tentang kelompok Syiah Raafidhah.

1. 'Alqamah bin Qais An-Nakha’i rahimahullah (Tokoh Tabi’in, w.62 H)

“عَنْ عَلْقَمَةَ، قَالَ: ” لَقَدْ غَلَتْ هَذِهِ الشِّيعَةُ فِي عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَمَا غَلَتِ النَّصَارَى فِي عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ

Dari Alqamah, ia berkata, "Sungguh Syiah ini telah berlebih-lebihan terhadap Ali radhiallahu 'anhu sebagaimana berlebih-lebihannya Nashara terhadap 'Isa bin Maryam." (Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah no. 1115 dan Al-Harbiy dalam Ghariibul-Hadiits, 2:581, shahih).

2. Az-Zuhriy rahimahullah

عنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: ” مَا رَأَيْتُ قَوْمًا أَشْبَهَ بِالنَّصَارَى مِنَ السَّبَائِيَّةِ “، قَالَ أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ: هُمُ الرَّافِضَةُ

Dari Az-Zuhri, ia berkata, "Aku tidak pernah melihat satu kaum yang lebih menyerupai Nashara daripada kelompok Saba’iyyah." Ahmad bin Yunus berkata, "Mereka itu adalah Rafidhah (Syiah)." (Diriwayatkan oleh Al-Ajurri dalam Asy-Syari'ah, 3:567 no.2083, shahih).

3. Imam Maalik bin Anas rahimahullah

أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ الْمَرُّوذِيُّ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ: عَنْ مَنْ يَشْتِمُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعَائِشَةَ؟ قَالَ: مَا أُرَآهُ عَلَى الإِسْلامِ، قَالَ: وَسَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ: قَالَ مَالِكٌ: الَّذِي يَشْتِمُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ لَهُ سَهْمٌ، أَوْ قَالَ: نَصِيبٌ فِي الإِسْلامِ

Abu Bakr Al-Marwadzi telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah tentang orang yang mencaci-maki Abu Bakar, Umar, dan Aaisyah? Maka ia menjawab, "Aku tidak berpendapat ia di atas agama Islam." Al-Marwadzi berkata, Dan aku juga mendengar Abu Abdillah berkata, Malik (bin Anas) mengatakan, "Orang yang mencaci-maki para sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka ia tidak mempunyai bagian (dalam Islam)." –atau ia berkata, "Bagian dalam Islam." (Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no.783; shahih sampai Ahmad bin Hanbal).

4. Imam Syaafi’i rahimahullah

حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ، يَقُولُ: لَمْ أَرَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ الأَهْوَاءِ، أَشْهَدُ بِالزُّورِ مِنَ الرَّافِضَةِ

Harmalah bin Yahya mengabarkan kepadaku, ia berkata, “Aku mendengar Asy-Syaafi’i berkata, ‘Aku tidak pernah melihat seorang pun dari pengikut hawa nafsu yang aku saksikan kedustaannya daripada Raafidhah (Syiah)’.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Adab Asy-Syafi'i, Hal. 144, hasan)

عن البويطي يقول: سألت الشافعي: أصلي خلف الرافضي ؟ قال: لا تصل خلف الرافضي، ولا القدري، ولا المرجئ….

Dari Al-Buwaithiy ia berkata, "Aku bertanya kepada Asy-Syafi'iy, Apakah aku boleh shalat di belakang seorang Rafidhi (pengikut Syiah)?" Beliau menjawab, "Janganlah engkau shalat di belakang seorang Raafidhi, Qadariy, dan Murji’i." (Siyaru A'lam An-Nubala', 10:31).

5. Ahmad bin Hanbal rahimahullah

أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: مَنْ شَتَمَ أَخَافُ عَلَيْهِ الْكُفْرَ مِثْلَ الرَّوَافِضِ، ثُمَّ قَالَ: مَنْ شَتَمَ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا نَأْمَنُ أَنْ يَكُونَ قَدْ مَرَقَ عَنِ الدِّينِ

Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata, "Barangsiapa yang mencaci-maki (sahabat pen.), aku khawatir ia akan tertimpa kekafiran seperti Rafidhah". Kemudian ia melanjutkan, "Barangsiapa yang mencaci-maki para sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka kami tidak percaya ia aman dari bahaya kemurtadan." (Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no.784, shahih).

عَبْدِ الصَّمَدِ، قَالَ: سَأَلْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، عَنْ جَارٍ لَنَا رَافِضِيٍّ يُسَلِّمُ عَلَيَّ، أَرُدُّ عَلَيْهِ؟ قَالَ: لا
Abdusshamad mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang tetanggaku Raafidli (seorang Syiah) yang mengucapkan salam kepadaku, apakah perlu aku jawab?" Ia menjawab: "Tidak." (Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no.787; hasan).

6. Imam Bukhari rahimahullah berkata,

مَا أُبَالِي صَلَّيْتُ خَلْفَ الْجَهْمِيِّ، وَالرَّافِضِيِّ أَمْ صَلَّيْتُ خَلْفَ الْيَهُودِ، وَالنَّصَارَى، وَلا يُسَلَّمُ عَلَيْهِمْ، وَلا يُعَادُونَ، وَلا يُنَاكَحُونَ، وَلا يَشْهَدُونَ، وَلا تُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ
"Sama saja bagiku shalat di belakang Jahmiy dan Raafidhi, atau aku shalat di belakang Yahudi dan Nashrani. Jangan memberikan salam kepada mereka, jangan dijenguk (apabila mereka sakit), jangan dinikahi, jangan disaksikan (jenazah mereka), dan jangan dimakan sembelihan mereka." (Khalqu Af'alil-'Ibad, 1:39-40).

7. Al-Qadhi 'Iyadh rahimahullahu berkata,

وَكَذَلِك نقطع بتكفير غلاة الرافضة فِي قولهم إنّ الْأَئِمَّة أفضل مِن الْأَنْبِيَاء

"Dan begitu pula kami memastikan kafirnya ghullat Rafidhah (orang-orang Syiah yang sudah sangat fanatik dengan ajarannya pen.) tentang perkataan mereka bahwasannya para imam lebih utama dari para Nabi." (Asy-Syifa bi-Ahwalil-Mushthafa, 2:174).

8. Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah berkata,

وأما قولهم ( يعني النصارى ) في دعوى الروافض تبديل القرآن فإن الروافض ليسوا من المسلمين ، إنما هي فرقة حدث أولها بعد موت رسول الله صلى الله عليه وسلم بخمس وعشرين سنة .. وهي طائفة تجري مجرى اليهود والنصارى في الكذب والكفر

"Adapun perkataan mereka (yaitu Nashara) atas klaim Raafidhah tentang perubahan Alquran (maka ini tidak teranggap), karena Raafidhah bukan termasuk kaum muslimin. Syiah adalah kelompok yang muncul pertama kali 25 tahun setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam…. Rafidhah adalah kelompok berjalan mengikuti jalan orang Yahudi dan Nashara dalam dusta dan kekufuran." (Al-Fishal fil-Milal wan-Nihal, 2:213).

Syiah Rafidhah sering menggunakan dalih mencintai ahlul bait untuk menutupi hakikat busuk akidah mereka dan untuk menipu umat. Kecintaan mereka itu palsu. Kecintaan yang tidak diridhai oleh ahlul bait sendiri. Ahlul bait berlepas diri dari mereka, dan mereka pun berlepas diri dari ahlul bait.

عَنْ عَلِيَّ بْنَ حُسَيْنٍ، وَكَانَ أَفْضَلَ هَاشِمِيٍّ أَدْرَكْتُهُ، يَقُولُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَحِبُّونَا حُبَّ الإِسْلامِ، فَمَا بَرِحَ بِنَا حُبُّكُمْ حَتَّى صَارَ عَلَيْنَا عَارًا

Dari Ali bin Al-Husain –dan ia adalah seutama-utama keturunan Bani Hasyim yang aku (perawi) temui– berkata, "Wahai sekalian manusia (dalam riwayat lain “wahai penduduk Irak” atau “Wahai penduduk Kufah”), cintailah kami dengan kecintaan Islam. Kecintaan kalian kepada kami senantiasa ada hingga kemudian malah menjadi aib bagi kami." (Ath-Thabaqaat, 5:110, shahih[16]).

عَنْ فُضَيْل بْنُ مَرْزُوقٍ، قَالَ: سَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ بْنَ الْحَسَنِ بْنِ الْحَسَنِ، أَخَا عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَسَنِ يَقُولُ: قَدْ وَاللَّهِ مَرَقَتْ عَلَيْنَا الرَّافِضَةُ كَمَا مَرَقَتِ الْحَرُورِيَّةُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ

Dari Fudlail bin Marzuuq, ia berkata, “Aku mendengar Ibraahiim bin Al-Hasan bin Al-Hasan, saudara 'Abdullah bin Al-Hasan, berkata, ‘Sungguh, demi Allah, Raafidhah (Syiah) telah keluar (tidak taat) terhadap kami (ahlul bait) sebagaimana Al-Haruriyyah telah keluar (tidak taat) terhadap Ali bin Abi Thalib." (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Fadlailush-Shahabah, no.36, hasan).

Ibraahiim bin Al-Hasan bin Al-Hasan adalah anggota ahlul bait dari jalur Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ibnu Hibban berkata, "Ia termasuk di antara pemimpin penduduk Madinah, dan ahlul bait yang mulia/agung." (Masyahir 'Ulama Al-Amshar, Hal.155 no. 995).

Ya, kecintaan Syiah terhadap ahlul bait telah menjadi aib bagi kemuliaan ahlul bait. Mereka telah melakukan banyak kedustaan atas nama ahlul bait untuk merusak akidah Islam dari dalam.
Wallaahul-musta'an.

Ditulis oleh Ustadz Abul Jauza' (Dengan perubahan bahasa oleh tim Konsultasi Syariah)

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Materi terkait ajaran syiah dan mut'ah:

1.Pandangan Kelompok pada Hari Asyuro.
2. Peringatan Kematian Imam Husein oleh Syiah.
3. Kisah Nikah Mut'ah.
4. Nikah Mut'ah Menurut Syiah.
5. Kerusakan Nikah Mut'ah.
6. Media Pembela Ajaran Syiah.
7. Hakikat Ajaran Syiah (1).
8. Hakikat Ajaran Syiah (2).

Waktu Membayar Mahar

Posted: 10 Jan 2012 10:07 PM PST

Waktu Membayar Mahar

Pertanyaan:
Syaikh Utsaimin ditanya:
Waktu pembayaran mahar, apakah di saat akad nikah ataukah setelah dicampuri?

Jawaban:
Mahar wajib dibayar setelah wanita tersebut mengadakan khalwah, dicampuri, meninggal atau bercumbu. Apabila seorang suami telah melakukan khalwat dengan istrinya, maka wanita telah berhak mendapatkan mahar secara sempurna meskipun terus dicerai. Apabila telah terjadi akad nikah kemudian suami meninggal dunia sebelum bergaul dengannya, maka dia (istri) berhak atas mahar yang sempurna. Atau jika melakukan akad nikah lalu bergaul dengannya, maka dia berhak atas mahar yang sempurna, bahkan meski hanya dicumbui saja tetap dia berhak atas mahar yang sempurna. Salah satu dari empat perkara (kematian, khalwat, senggama dan bercumbu) yang mewajibkan mahar sempurna.

Jika seorang suami telah menikah sebelum melakukan khalwat dan belum melihatnya juga belum bersenggama dan bercumbu dengan istrinya, apa hak wanita tersebut?

Wanita tersebut harus menjalani iddah, berhak mendapatkan warisan dan memperoleh mahar mitsil bila sebelumnya tidak disebutkan maharnya.

Penjelasan ini mungkin mendapat tanggapan dari sebagian orang dengan mengatakan, "Bagaimana hal ini terjadi padahal laki-laki tersebut belum pernah melihat dan menggauli istrinya.” Saya katakan bisa saja hal itu terjadi karena Allah berfirman,

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari." (QS. Al-Baqarah: 234)

Dalam ayat di atas wanita sudah disebut sebagai istri walaupun belum digauli. Kalau begitu jika seorang laki-laki menikah kemudian menjatuhakn talak kepada istrinya sebelum digauli, maka apakah wanita tersebut berhak mendapatkan mahar sempurna?
Jawabannya, apabila maharnya telah disebutkan kadarnya, maka wanita berhak mendapatkan separuh dari mahar tersebut. Dan jika belum ditentukan kadarnya, maka dia hanya berhak mendapatkan mut'ah tanpa menjalani iddah. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَالَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya." (QS. Al-Ahzab: 49)

Dan berdasarkan firman-Nya juga,

وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلاَّ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ

"Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah." (QS. Al-Baqarah: 237)

Sumber: Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 2, Darul Haq, Cetakan VI 2010

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Materi terkait mahar pernikahan:

1. Mahar yang Terlalu Mahal.
2. Hukum Menjual Mahar.