Selasa, 06 September 2011

Tegar Di Atas Sunnah

Tegar Di Atas Sunnah


Tidak Memakai Peci Saat Shalat

Posted: 06 Sep 2011 05:00 PM PDT

Pertanyaan:
Ustadz, apa hukum laki2 yg tdk memakai peci atau kopiah saat sholat..?

Jawaban:

Allah berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

Yang artinya, "Wahai anak keturunan Adam kenakanlah pakaian perhiasan kalian setiap kali kalian mengerjakan shalat" [QS al A'raf:31].

Syaikh Abdurrahman as Sa'di menjelaskan ayat di atas dengan mengatakan, "Maknanya tutupilah aurat kalian ketika kalian mengerjakan shalat baik shalat yang wajib maupun shalat sunah karena tertutupnya aurat itu menyebabkan indahnya badan sebagaimana terbukanya aurat itu menyebabkan badan nampak jelek dan tidak sedap dipandang. Zinah [perhiasan] dalam ayat di atas bisa juga bermakna pakaian yang lebih dari sekedar menutup aurat itulah pakaian yang bersih dan rapi.
Jadi dalam ayat di atas terdapat perintah untuk menutupi aurat ketika ketika hendak mengerjakan shalat dan memakai pakaian yang menyebabkan orang yang memakainya nampak sedap dipandang mata serta memakai pakaian yang bersih dari kotoran dan najis" [Taisir Karim ar Rahman hal 311, terbitan Dar Ibnul Jauzi , cet kedua 1426 H].

Berdasarkan makna yang kedua yang disampaikan oleh Ibnu Sa'di di atas maka ketika kita mengerjakan shalat kita dianjurkan untuk memakai pakaian perhiasan. Itulah pakaian yang menyebabkan kita sedap dipandang jika kita memakainya. Tolak ukur pakaian perhiasan adalah kebiasaan masyarakat sehingga berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain, satu zaman dengan zaman yang lain. Sehingga jika di suatu daerah memakai peci adalah bagian dari berpakaian rapi dan menarik ketika shalat maka memakai peci adalah suatu hal yang dianjurkan sehingga tidak memakai peci dalam kondisi tersebut berarti melakukan hal yang kurang afdhol. Akan tetapi hukum memakai peci menjadi berbeda manakala kita
berdomisili di suatu yang tidak menilai berpeci sebagai bagian dari kerapian berpakaian dalam shalat.

Artikel www.ustadzaris.com

Artikel Terkait

KonsultasiSyariah: Orang Tua Menginginkan Putrinya di Rumah

KonsultasiSyariah: Orang Tua Menginginkan Putrinya di Rumah


Orang Tua Menginginkan Putrinya di Rumah

Posted: 06 Sep 2011 08:13 PM PDT

Orang Tua Menginginkan Putrinya di Rumah

Saya seorang istri, tinggal bersama suami dan empat anak. Belakangan ini, orang tua saya yang sudah lanjut usia menginginkan saya pulang untuk menemani mereka di kampung. Sementara suami tidak berkenan. Siapa yang harus saya utamakan?

Jawaban:

Kehidupan rumah tanggal yang bahagia dapat terwujud dengan saling memberikan dan menunaikan hak-hak masing-masing anggota keluarga. Sang istri memiliki hak yang wajib ditunaikan sang suami, demikian juga sebaliknya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dan menegaskan kewajiban dalam menunaikan hak suami dalam sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Seandainya aku akan memerintahkan seorang untuk bersujud kepada selain Allah, tentulah aku perintahkan wanita bersujud kepada suaminya. Demi (Allah) Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidaklah seorang wanita menunaikan hak Rabb-nya sampai dia telah menunaikan hak suaminya. Walaupun suaminya meminta dirinya (berhubungan suami istri) di atas pelana onta, ia tidak boleh menolaknya." (HR. Ibnu Majah dalam kitab as-Sunan No. 1843. Lihat ash-Shahihah No. 1203)

Syaikh al-Albani dalam Adabuz Zifaf menjelaskan tentang hadits ini dengan menyatakan, 'Pengertiannya adalah anjuran kepada kaum wanita untuk menaati suaminya, ia tidak boleh menolak (ajakan suami) dalam keadaan seperti itu, lalu bagaimana dalam kondisi yang lainnya? (Tentu ia lebih patut menaati suami).'

Ketika menjelaskan hadits di atas, penulis Tuhfatul Ahwadzi mengatakan, 'Demikian itu dikarenakan banyaknya hak suami yang wajib dipenuhi oleh istri dan tidak mampunya istri untuk membalas kebaikan suaminya. Dalam hadits ini terdapat ungkapan hiperbolis menunjukkan wajibnya istri untuk menunaikan hak suaminya karena tidak diperbolehkan bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.'

Berdasarkan hadits di atas, maka seorang istri berkewajiban mendahulukan hak suami daripada oarng tuanya, jika tidak mungkin untuk menyelaraskan (menyatukan) dua hal ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, 'Seorang perempuan jika telah menikah, maka suami lebih berhak terhadap dirinya dibandingkan kedua orang tuanya dan menaati suami itu lebih wajib dari pada taat orang tua.' (Majmu' Fatawa, 32/261)

Di halaman yang lain, beliau mengatakan, 'Seorang istri tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan izin suami meski diperintahkan oleh bapak atau ibunya, apalagi orang selain mereka berdua. Hukum ini adalah suatu yang telah disepakati oleh para imam. Jika suami ingin berpindah tempat tinggal dari tempat semula dan dia adalah seorang suami yang memenuhi tanggung-jawabnya sebagai seorang suami serta menunaikan hak-hak istrinya, lalu orang tua istri melarang anaknya untuk pergi bersama suami padahal suami memerintahkannya untuk turut pindah, maka kewajiban istri adalah menaati suami, bukan menaati orang tuanya. Orang tua dalam hal ini dalam kondisi zhalim. Orang tua tidak boleh melarang anak perempuannya untuk menaati suami dalam masalah-masalah semacam ini' (Majmu Fatawa: 32/263)

Mencermati pertanyaan Saudari dalam hal ini, maka perintah dan ketaatan kepada suami lebih didahulukan dari permintaan orang tua. Namun, permasalahan kepentingan orang tua yang sudah lanjut usia dengan kepentingan suami yang berharap Saudari berada di sampingnya merupakan perkara yang mungkin dikompromikan dan tidak harus dipertentangkan. Coba mengadakan komunikasi dengan suami dan orang tua untuk mencari solusinya.

Titik komprominya bisa dilihat kepada teladan yang ada, di antara contohnya:

1. Bila orang tua tidak memiliki anak kecuali Saudari sehingga bila saudari tidak mengurusnya maka orang tua tersebut terlantar, maka diminta orang tua tinggal di rumah suami, dengna persetujuan suami tentunya.

2. Bila orang tuanya memiliki anak selain Saudari, bisa memintanya merawat dan mengurus orang tua dengan cara Saudari dan suami menanggung biaya kebutuhan hidupnya (saudara yang menangani orang tua), Atau solusi-solusi lainnya sesuai dengan kondisi dan keadaan dengan memperhatikan kemaslahatan bagi banyak pihak.

Perlu diketahui juga oleh sang suami bahwa kebahagiaan rumah tangganya sangat tergantung juga dengan kebahagiaan sang istri. Membantu mertua merupakan salah satu upaya membahagiakan istri yang akan berdampak positif terhadap keutuhan dan kebahagiaan rumah tangganya. Apalagi sejak pertama, akad pernikahan sudah mengikat dua keluarga besar dalam ikatan keluarga dan persaudaraan. Berbuat baik kepada mertua dan sikap sedikit banyak mengalah untuk kepentingannya yang bersifat baik dan positif merupakan satu amalan shalih yang bisa menjadi sebab kemudahan rezeki dan hidup bagi kita. Hal ini dapat ditinjau dari sisi mertua sebagai seorang Muslim dan membahagiakan seorang Muslim menurut syariat adalah termasuk ibadah dan amal shalih. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Termasuk amalan paling utama, menciptakan kegembiraan bagi seorang Muslim: dengan cara membayarkan hutangnya, memenuhi kebutuhannya dan menyelesaikan kesulitannya." (Ash-Shahihah: no. 2291)

Selain itu, akan timbul efek positif dari perbuatan tersebut pada sikap istri dan keluarganya kepada suami, di samping kebaikan-kebaikan lainnya yang muncul sebagai pengaruh positif dari perhatian suami kepada keluarga istrinya. Sikap baik suami ini terhadap istri dan keluarganya juga merupakan salah satu bentuk nyata dari ketakwaan kepada Allah dan ketakwaan kepada Allah akan menjadi sebab datangnya kemudahan bagi seluruh urusan kita dan juga kemudahan rezeki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS. At-Thalaq: 2-3)

Dalam ayat selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

"Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (QS. At-Thalaq: 4)

Siapakah yang tidak mengharapkan hal ini? Oleh karena itu, hendaknya suami memberikan perhatian dan kemudahan kepada istri untuk melakukan kebaikan dan baktinya kepada kedua orang tuanya, sehingga mudah-mudahan dengan adanya kerjasama dan saling pengertian tersebut akan terbentuk satu keluarga yang penuh dengan sakinah, mawaddah dan rahmah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kemudahan bagi Saudari dalam menyelesaikan segala urusan. Demikian jawaban kami mudah-mudahan bermanfaat.

Sumber: Majalah As-Sunnah, Edisi 06 Tahun XIV 1431 H/2010 M. (Dipublikasikan ulang oleh www.KonsultasiSyariah.com)

Artikel www.KonsultasiSyariah.com