Senin, 12 September 2011

Tegar Di Atas Sunnah

Tegar Di Atas Sunnah


Apa-Apa Pakai Bismillah

Posted: 11 Sep 2011 05:00 PM PDT

01:09:23-01:10:18

يقول السائل: هل ذكر بسم الله في القيام والقعود وفي جميع حركات الإنسان هل هذا من السنة؟

Pertanyaan, "Apakah mengucapkan bismillah ketika akan berdiri, akan duduk dan ketika akan melakukan semua aktivitas itu termasuk sunnah [baca: dituntunkan oleh] nabi?"

نقول ليس من السنة. إذا ورد بسم الله في الموضع تقوله، إذا لم ترد في الموقع لا تقولها كأي ذكر من الأذكار. كلمة بسم الله ذكر. فحيث ورد هذا الذكر نقوله، حيث لم يرد لا نقوله.

Jawaban Syaikh Ali al Halabi, "Kami katakan, itu tidak termasuk sunnah. Jika dalil mengajarkan untuk mengucapkan bismillah dalam suatu keadaan maka anda bisa mengucapkannya. Akan tetapi jika tidak ada dalil yang menuntunkan untuk mengucapkan bismillah dalm suatu kondisi maka anda tidak perlu mengucapkannya sebagaimana umumnya bacaan dzikir. Ingat, kalimat bismillah adalah bacaan dzikir.

Ketika dalil mengajarkan untuk mengucapkannya dalam suatu situasi maka kita mengucapkannya namun jika tidak dalil yang mengatakan demikian maka kita tidak perlu mengucapkannya.

أما أن نستوعب لهذا الذكر سائر الأعمال والأفعال هذا يؤدينا إلى أن نخالف السنة في بعض الأدعية وبعض الأذكار الواردة عن النبي عليه الصلاة والسلام وليس فيها ذكر بسم الله.

Sikap menjadikan bacaan dzikir ini yaitu kalimat bismillah meliputi semua gerak gerik dan aktivitas kita maka hal itu menyebabkan kita menyelisihi ajaran Nabi dalam sebagian doa dan dzikir yang Nabi ajarkan dan dzikir tersebut tidak dimulai dengan kata-kata bismillah.

هل كل الأدعية والأذكار الوارد عن النبي عليه الصلاة والسلام في مقامات الإنسان وحالاته فيها بسم الله؟ ليس كذلك. ونقرر: لو كان خيرا لسبقونا إليه.

Apa semua bacaan doa dan dzikir yang Nabi ajarkan dalam berbagai situasi dan aktivitas manusia keseharian itu dimulai dengan bismillah? Jawabannya tentu saja tidak. Jika demikian, kami tegaskan bahwa seandainya itu adalah perbuatan yang bernilai pahala tentu para shahabat adalah orang yang lebih dahulu mempraktekkannya dari pada kita"
[Ditranskip dari ceramah ilmiah yang disampaikan oleh Syaikh Ali Hasan dengan judul ad Du-a wa Atsaruhu. Fatwa di atas bisa disimak pada menit 01:09:23-01:10:18 dalam rekaman video dari ceramah di atas].

Artikel www.ustadzaris.com

Sudah membaca yang ini?

KonsultasiSyariah: Mahram Kita

KonsultasiSyariah: Mahram Kita


Mahram Kita

Posted: 12 Sep 2011 06:43 PM PDT

Muhrimkah kakak ipar

Assalamu’alaikum, Ustad apakah kakak ipar/istri dari saudara laki-laki itu termasuk muhrim? terima kasih.

Aljauhar (the_banXXXXX@yahoo.com)

Jawaban:

Wa alaikumus salam

Pertama kami ingatkan, bahwa penggunaan istilah yang benar adalah mahram bukan muhrim. Karena muhrim artinya orang yang melakukan ihram, baik untuk umrah atau haji. Sedangkan mahram, Imam an-Nawawi memberi batasan dalam sebuah definisi berikut,

كل من حرم نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها

Setiap yang haram untuk dinikahi selamanya, disebab sesuatu yang mubah, karena statusnya yang haram. (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 9:105)

Kemudian beliau memberikan keterangan untuk definisi yang beliau sampaikan:

  1. Haram untuk dinikahi selamanya : Artinya ada wanita yang haram dinikahi, namun tidak selamanya. Seperti adik istri atau bibi istri. Mereka tidak boleh dinikahi, tetapi tidak selamanya. Karena jika istri meninggal atau dicerai, suami boleh menikahi adiknya atau bibinya.
  2. Disebabkan sesuatu yang mubah : Artinya ada wanita yang haram untuk dinikahi selamanya dengan sebab yang tidak mubah. Seperti ibu wanita yang pernah disetubuhi karena dikira istrinya, atau karena pernikahan syubhat. Ibu wanita ini haram untuk dinikahi selamanya, namun bukan mahram. Karena menyetubuhi wanita yang bukan istrinya, karena ketidaktahuan bukanlah perbuatan yang mubah.
  3. Karena statusnya yang haram : Karena ada wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, namun bukan karena statusnya yang haram tetapi sebagai hukuman. Misalnya, wanita yang melakukan mula’anah dengan suaminya. Setelah saling melaknat diri sendiri karena masalah tuduhan selingkuh, selanjutnya pasangan suami-istri ini dipisahkan selamanya. Meskipun keduanya tidak boleh nikah lagi, namun lelaki mantan suaminya bukanlah mahram bagi si wanita.

Adapun wanita yang tidak boleh dinikahi karena selamanya ada 11 orang ditambah karena faktor persusuan. Tujuh diantaranya, menjadi mahram karena hubungan nasab, dan empat sisanya menjadi mahram karena hubungan pernikahan.

Pertama, tujuh wanita yang tidak boleh dinikahi karena hubungan nasab:

  1. Ibu, nenek, buyut perempuan dan seterusnya ke atas.
  2. Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah.
  3. Saudara perempuan, baik saudari kandung, sebapak, atau seibu.
  4. Keponakan perempuan dari saudara perempuan dan keturunannya ke bawah.
  5. Keponakan perempuan dari saudara laki-laki dan keturunannya ke bawah.
  6. Bibi dari jalur bapak (‘ammaat).
  7. Bibi dari jalur ibu (Khalaat).

Kedua, empat wanita yang tidak boleh dinikahi karena hubungan pernikahan:

  1. Ibu istri (ibu mertua), nenek istri dan seterusnya ke atas, meskipun hanya dengan akad
  2. Anak perempuan istri (anak tiri), jika si lelaki telah melakukan hubungan dengan ibunya
  3. Istri bapak (ibu tiri), istri kakek (nenek tiri), dan seterusnya ke atas
  4. Istri anak (menantu perempuan), istri cucu, dan seterusnya kebawah.

Demikian pula karena sebab persusuan, bisa menjadikan mahram sebagaimana nasab. (Taisirul ‘Alam, Syarh Umdatul Ahkam, hal. 569)

Catatan untuk saudara ipar apakah mahram (muhrim):

Saudara ipar bukan termasuk mahram. bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan agar berhati-hati dalam melakukan pergaunlan bersama ipar. Dalilnya: Ada seorang sahabat yang bertanya, "Ya Rasulullah, bagaimana hukum kakak ipar?"
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Saudara ipar adalah kematian." (HR. Bukhari dan Muslim).

Maksud hadis: Interaksi dengan kakak ipar bisa menjadi sebab timbulnya maksiat dan kehancuran. Karena orang bermudah-mudah untuk bebas bergaul dengan iparnya, tanpa ada pengingkaran dari orang lain. Sehingga interaksinya lebih membahayakan daripada berinteraksi dengan orang lain yang tidak memiliki hubungan keluarga. Kondisi semacam ini akan memudahkan mereka untuk terjerumus ke dalam zina.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Menggabung Niat Puasa Syawal dengan Puasa Qadha

Posted: 11 Sep 2011 11:28 PM PDT

Hukum menggabung niat puasa dengan qadha puasa

Assalamu ‘alaikum. Ustadz, apakah boleh puasa dalam sehari, niatnya untuk dan qadha puasa? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum.

Umie (umie**@yahoo.***)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam.

*

Menggabung niat qadha puasa dengan puasa syawal (Disadur dari Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih. No. fatwa: 12728)

Pertanyaan:

Bolehkah melakukan puasa Syawal, sekaligus dengan niat meng-qadha puasa yang pernah ditinggalkan di bulan Ramadan? Bagaimana cara yang tepat?

Jawaban:

Alhamdulillah, washshalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du …

Tidak boleh melakukan puasa 6 hari di bulan Syawal dengan niat ganda, untuk puasa sunah dan meng-qadha puasa Ramadan yang pernah ditinggalkan, karena meninggalkan puasa ketika Ramadan, baik karena alasan yang dibenarkan maupun tanpa alasan, itu wajib untuk di-qadha’, berdasarkan firman Allah,

فمن كان منكم مريضاً أو على سفر فعدة من أيام أخر

"Siapa saja di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (kemudian dia berbuka) maka dia (mengganti) sebanyak hari puasa yang ditinggalkan di hari yang lain." (Qs. Al-Baqarah:184)

Sementara, puasa 6 hari Syawal itu hukumnya sunah, berdasarkan hadis dari Abu Ayyub Al-Anshari; beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال فذلك كصيام الدهر

"Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti (puasa) enam hari bulan Syawal, maka itu seperti puasa setahun." (Hr. Muslim)

Oleh karena itu, hendaknya orang yang memiliki utang puasa tersebut meng-qadha utang puasa Ramadan kemudian melaksanakan puasa sunah 6 hari bulan Syawal.

Puasa Syawal harus dilakukan secara khusus, demikian pula qadha puasa juga harus dilakukan secara khusus. Dalam keadaan semacam ini, tidak memungkinkan untuk digabungkan niatnya, tidak sebagaimana ibadah yang lain, seperti mandi junub dan mandi Jumat.

Allahu a’lam.

*

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com