Senin, 09 Januari 2012

Tegar Di Atas Sunnah

Tegar Di Atas Sunnah


Hadits Dhaif Dalam Kitab Para Ulama

Posted: 09 Jan 2012 04:00 PM PST

فائدة:

قد يقول قائل: إذا كان المؤلف بتلك المنزلة العالية في المعرفة بصحيح الحديث ومطروحه، فما بالنا نرى كتابه هذا وغيره من كتبه قد شحنها بالأحاديث الواهية ؟

Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani mengatakan,

Catatan:

Boleh jadi ada orang yang bertanya, “Jika penulis suatu buku adalah seorang yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam pengetahuan mengenai hadits yang shahih dan yang tidak lantas mengapa buku beliau yang ini atau yang lain penuh dengan berbagai hadits yang sangat lemah?”

 

والجواب: أن القاعدة عند علماء الحديث أن المحدث إذا ساق الحديث بسنده، فقد برئت عهدته منه، ولا مسؤولية عليه في روايته، ما دام أنه قد قرن معه الوسيلة التي تمكن العالم في معرفة ما إذا كان الحديث صحيحاً أو غير صحيح، ألا وهي الإسناد.

Jawabannya adalah sebagai berikut:

Telah menjadi kaedah diantara para ulama hadits bahwa seorang ulama pakar hadits jika beliau sudah membawakan suatu riwayat lengkap dengan sanadnya maka dia telah bebas dari tanggung jawab dan dia tidak bertanggung jawab atas riwayat yang dia bawakan karena dia telah menyediakan alat [baca: sanad] yang memungkinkan bagi pakar hadits untuk mengetahui apakah suatu hadits itu shahih ataukah tidak. Alat tersebut adalah sanad.

نعم، كان الأولى بهم أن يُتبعوا كل حديث ببيان درجته من الصحة أو الضعف، ولكن الواقع يشهد أن ذلك غير ممكن بالنسبة لكل واحد منهم، وفي جميع أحاديثه على كثرتها لأسباب كثيرة لا مجال لذكرها الآن،

Memang seharusnya beliau beliau menjelaskan kualitas hadits yang beliau bawakan shahih ataukah dhaif namun realita menunjukkan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan oleh masing masing mereka dalam semua haditsnya yang demikian banyak karena berbagai alasan yang tidak mungkin semuanya disampaikan dalam kesempatan ini.

ولكن أذكر منها أهمها وهي أن كثيراً من الأحاديث لا تظهر صحتها أو ضعفها إلا بجمع الطرق والأسانيد، فإن ذلك مما يساعد على معرفة علل الحديث، وما يصح من الأحاديث لغيره،

Akan tetapi akan kusebutkan alasan yang paling penting yaitu bahwa banyak hadits itu tidak diketahui statusnya shahih ataukah dhaif melainkan dengan mengumpulkan berbagai jalur dan sanadnya karena hal tersebut membantu mengetahui cacat tersembunyi yang ada pada suatu hadits dan bisa menyebabkan hadits yang tidak shahih menjadi shahih li ghairihi.

ولو أن المحدثين كلهم انصرفوا إلى التحقيق وتمييز الصحيح من الضعيف لما استطاعوا -والله أعلم- أن يحفظوا لنا هذه الثروة الضخمة من الأحاديث والأسانيد،

Andai semua pakar hadits obsesinya hanya menelitai keshahihahn suatu hadits tentu mereka tidak akan mampu menyajikan untuk kita hadits yang lengkap dengan sanadnya dalam jumlah yang demikian besar.

ولذلك انصبت همة جمهورهم على مجرد الرواية إلا فيما شاء الله، وانصرف سائرهم إلى النقد والتحقيق، مع الحفظ والرواية، وقليل ما هم ((ولكل وجهة هو موليها فاستبقوا الخيرات)) . أ.هـ

Oleh karena itu obsesi mayoritas pakar hadits adalah membawakan riwayat kecuali untuk sebagian kecilnya saja yang mereka teliti. Sedangkan segelintir mereka obsesinya adalah mengkaji dan meneliti keabsahan hadits disamping berhatian dengan masalah periwayatan hadits. Masing masing ulama punya pertimbangan sendiri sendiri dalam pilihan yang mereka ambil dan ini adalah kesempatan untuk berlomba dalam kebaikan” [Iqtidha' al Ilmi al 'Amal karya Khathib al Baghdadi tahqiq al Albani hal 5].

Sumber:

http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=114756#post114756

Sudah membaca yang ini?

KonsultasiSyariah: Darah Keguguran = Nifas?

KonsultasiSyariah: Darah Keguguran = Nifas?


Darah Keguguran = Nifas?

Posted: 09 Jan 2012 05:57 PM PST

Darah Keguguran = Nifas?

Pertanyaan:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Jika seseorang wanita mengalami keguguran pada umur tiga bulan dari masa kehamilannya, apakah ia harus melaksanakan shalat atau harus meninggalkannya?

Jawaban:

Darah Keguguran Termasuk Nifas

Pendapat yang dikenal di kalangan ahlul ilmi mengatakan bahwa seorang wanita yang mengalami keguguran pada umur tiga bulan dari kehamilannya, maka ia harus meninggalkan shalat. Karena ia telah melahirkan janin yang telah berbentuk manusia, dengan demikian darah yang keluar darinya adalah darah nifas sehingga ia tidak boleh melakukan shalat.

Para ulama mengatakan, kemungkinan janin yang ada dalam kandungan seorang wanita telah berbentuk manusia jika telah berumur delapan puluh satu hari, berarti kurang dari tiga bulan, dengan demikian jika seorang wanita telah yakin bahwa ia telah mengalami keguguran pada umur tiga bulan dari kehamilannya maka darah yang keluar darinya adalah darah nifas. Adapun jika keguguran itu terjadi sebelum delapan puluh hari, maka darah yang keluar darinya adalah darah penyakit yang tidak boleh baginya untuk meninggalkan shalat. Dan bagi wanita yang menanyakan hal ini hendaknya ia mengingat-ingat masa kehamilan dirinya itu, jika keguguran terjadi sebelum delapan puluh hari maka hendaknya ia mengqadha shalat yang ditinggalkannya. Jika ia tidak mengetahui berapa banyak shalat yang telah ditinggalkannya, maka hendaknya ia memperkirakannya lalu mengqadhanya berdasarkan kemungkinan dalam meninggalkan shalat.

Sumber: Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 1, Darul Haq, Cetakan VI 2010

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Materi terkait:

1. Aqiqah Untuk Janin Keguguran.
2. Shalat Wanita yang Keguguran.

Key word: darah keguguran.

Menjadi Imam Shalat Jamaah

Posted: 08 Jan 2012 10:55 PM PST

Menjadi Imam Shalat Jamaah

Pertanyaan:
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Kami mendengar hadis yang berisi perintah bahwa jika kita sedang menjadi imam shalat, maka kita harus memendekkan shalat tersebut. Apakah yang dimaksud memendekkan shalat di sini? dan bagaimana praktiknya yang benar?
Apakah harus membaca surat-surat pendek saja seperti Al-Ikhlash, An-Nas, dan semisalnya?
Kami mohon jawaban beserta dalil serta penerapan yang benar menurut pemahaman yang benar pula, karena sebagian kami menjadi imam shalat lima waktu di masjid. Terima kasih atas penjelasannya.

Jawaban:

Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh

Menjadi Imam Shalat Jamaah

Dalam hal panjang dan pendeknya bacaan, telah dibedakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam antara shalat sendirian dan shalat berjamaah. Berliau bersabda,

"Jika di antara kamu shalat mengimami manusia, maka hendaklah meringkas, karena di antara mereka ada yang lemah, orang sakit, dan orang tua. Akan tetapi, jika shalat sendirian, maka hendaklah memanjangkan semuanya." (HR. Bukhari: 662)

Akan tetapi, bukanlah yang dimaksudkan meringkas shalat adalah membaca setiap rakaatnya dengan surat-surat pendek seperti Al-Ikhlash dan An-Nash atau semisalnya. Kita harus memahami maksud hadis di atas sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat syariat yang mulia ini. Jika penafsiran suatu hadis diserahkan kepada semua pihak, niscaya mereka akan berbeda penafsiran dan akan terus berselisih. Misalnya tentang penafsiran hadis ini, seorang penghafal Alquran akan mengatakan bahwa Surat Al-Anfal, Surat Yusuf, Surat Yunus, dan semisalnya adalah surat-surat yang pendek (karena dia telah menghafalnya di luar kepala), sementara orang yang tidak mempunyai hafalan Alquran akan mengatakan bahwa surat Al-Ghosyiyah, Al-Alaq, Al-Balad, Adh-Dhuha, dan semisalnya adalah surat-surat yang panjang. Maka mustahil terjadi kesamaan persepsi dari setiap orang.

Oleh karena itu, kita harus mengetahui siapakah seseorang yang shalatnya ringkas (pendek) ketika menjadi imam? Jawabnya tidak lain adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sebuah hadis:

Dari Anas bin Malik berkata, "Aku tidak pernah shalat bersama seorang imam pun yang lebih pendek dan lebih sempurna shalatnya daripada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam." (HR. Bukhari: 667 dan Muslim: 721)

Hadis ini menunjukkan bahwa yang dicontohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya memendekkan shalat ketika menjadi imam, tetapi juga menyempurnakannya. Inilah maksud hadis yang diinginkan, karena demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan sabdanya dengan praktik secara langsung yang dilihat oleh para sahabat setiap hari.

Maka bagi setiap imam hendaklah berupaya melaksanakan shalatnya agar sesuai dengan sunnah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam. Shalat yang sesuai dengan sunah adalah shalat yang pendek tetapi sempurna, bukan shalat yang memperturutkan hawa nafsunya atau hawa nafsu kebanyakan para makmumnya yang biasanya ingin shalat secepat mungkin. Seorang imam adalah pemikul amanat manusia, dan orang yang sedang memikul amanat harus menunaikannya dengan yang sebaik-baiknya, dan shalat yang paling baik adalah yang sesuai dengan sunnah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Nawawi berkata, "Makna hadis ini sangat jelas, yaitu seorang imam diperintahkan untuk memendekkan shalatnya tetapi tidak mengurangi sunah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mengurangi maksud-maksud shalat." (Syarh Nawawi 'ala Shahih Muslim, 2:216)

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "Para ahlul ilmi mengatakan, yang dianjurkan ketika shalat shubuh adalah membaca thiwalul mufashol, dalam shalat maghrib membaca qishorul mufashol, dan shalat lainnya (zuhur, ashar, dan isya) membaca awashitul mufashol. thiwalul mufashol adalah dimulai dari surat Qaf sampai dengan surat An-Naba, qishorul mufashol adalah dimulai dari surat Adh-Duha sampai dengan akhir Alquran, dan awashitul mufashol adalah dimulai dari surat An-Naba sampai dengan Adh-Dhuha. Inilah yang biasa dilakukan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh juga kadang-kadang membaca thiwalul mufashol ketika shalat maghrib, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kadang-kadang membacanya pada shalat maghrib." (Liqo' al-Bab al-Maftuh, 3:79)

Perkataan di atas didasari oleh sebuah hadis dari jalan Sulaiman bin Yasar dari Abu Hurairah beliau berkata, "Aku tidak pernah shalat bersama seorang pun yang lebih mirip dengan shalatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam daripada orang ini (Sulaiman bin Yasar)." Lalu beliau berkata, "Adalah beliau (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam) memanjangkan dua rakaat pertama shalat zuhur dan memendekkan dua rakaat yang lainnya. Beliau meringkas shalat ashar. Beliau membaca qishorul mufashol pada shalat maghrib, membaca washatul (awashitul) mufashol pada waktu shalat isya, dan membaca thulul (thiwalul) mufashol pada shalat shubuh." (HR. Ibnu Majah: 827, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Sunan Nasai: 983)

Demikian juga, jika suatu saat dibutuhkan untuk shalat lebih pendek dari yang biasa dilakukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam maka hal itu dibolehkan dengan syarat tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Alasannya, jika hal itu dilakukan setiap hari maka dia akan menyelisihi sunah dalam hal mengimami shalat. Dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik, beliau berkata, bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Sesungguhnya aku memulai shalat, dan aku ingin memanjangkan bacaannya, lalu aku mendengar tangisan anak kecil, lalu aku meringkas shalatku sebab aku mengetahui kekhawatiran ibunya mendengar tangisan anaknya." (HR. Bukhari 668 dan Muslim: 723)

Akan tetapi, bacaan panjang yang melebihi sunah Rasul jika sampai memberatkan umatnya maka menjadi haram hukumnya, karena hal ini akan menyulitkan dan membuat orang-orang lari dari ibadah. Oleh karenanya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat marah ketika ada salah satu sahabatnya yang terlalu panjang bacaannya ketika menjadi imam sehingga menyulitkan orang lain. (HR. Bukhari: 6106 dan Muslim: 465)

Kesimpulan

  1. Hendaklah meringkas (memendekkan) shalat jika menjadi imam, dan memanjangkan semaunya jika shalat sendirian.
  2. Maksud dari memendekkan shalat ketika menjadi imam adalah menyempurnakan shalat sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, bukan melaksanakan shalat yang paling pendek menurut hawa nafsu manusia.
  3. Dianjurkan ketika shalat shubuh membaca thiwalul mufashol, dan sholat lainnya (zhuhur, ashar, dan isya) membaca awashitul mufashol.
  4. Dibolehkan mengurangi atau melebihi sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam bacaannya jika ada suatu kebutuhan, asalkan tidak memberatkan orang lain dan tidak dijadikan kebiasaan setiap hari.
  5. Dilarang terlalu panajng bacaannya melebihi sunah yang berakibat memberatkan makmum.

Wallahu a'lam.

Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 01 Tahun ke-10 1432 H/ 2011

Artikel www.KonsultasiSyariah.com