Minggu, 14 Agustus 2011

KonsultasiSyariah: Puasa Anak Kecil dan Pahalanya

KonsultasiSyariah: Puasa Anak Kecil dan Pahalanya


Puasa Anak Kecil dan Pahalanya

Posted: 14 Aug 2011 08:20 PM PDT

Pertanyaan:

Begini, Ustadz. Saya punya keponakan, umurnya kira-kira 7 tahun. Dia sudah berpuasa penuh sampai maghrib, seperti orang dewasa. Apa hukumnya? Mengingat ia belum balig, apakah ia mendapat pahala dari puasanya?

Farid (Farid**@yahoo.***)

Jawaban:

Bismillah, washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah.

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

"Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka." (Q.s. At-Tahrim:5)

Ayat ini menjadi dalil bahwa orang tua memiliki tanggung jawab di hadapan Allah untuk mendidik anaknya sesuai dengan ajaran Islam. Di antara bagian pendidikan Islam bagi anak adalah membiasakan mereka untuk melakukan amal saleh, terutama amal wajib, seperti atau . Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para orang tua agar menyuruh anaknya untuk shalat ketika berusia 7 tahun dan memukul mereka (jika menolak shalat, ed.) ketika berusia 10 tahun, sebagaimana disebutkan hadis yang diriwayatkan Ahmad serta Abu Daud yang dinilai sahih oleh Al-Albani.

Demikian pula dalam masalah puasa, para sahabat mendidik anaknya untuk berpuasa. Disebutkan dalam hadis dari Rubayi’ binti Muawidz radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sahabat di pagi hari Asyura (10 Muharam) untuk mengumumkan, "Barang siapa yang sejak pagi sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya. Barang siapa yang sudah makan, hendaknya dia puasa di sisa harinya." Para sahabat mengatakan, “Setelah itu, kami pun puasa dan menyuruh anak-anak kami untuk puasa. Kami pergi ke masjid dan kami buatkan mainan dari bulu. Jika mereka menangis karena minta makan, kami beri mainan itu hingga bisa bertahan sampai waktu berbuka.” (H.r. Bukhari, no. 1960; Muslim, no. 1136)

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Hadis ini adalah dalil disyariatkannya membiasakan anak-anak untuk berpuasa, karena anak yang berusia sebagaimana yang disebutkan dalam hadis belum termasuk usia mendapatkan beban syariat. Namun, mereka diperintahkan puasa dalam rangka latihan.” (Fathul Bari, 4:201)

Disebutkan dalam riwayat dari Zubair bin Awam bahwa beliau memerintahkan anaknya untuk berpuasa jika mereka sudah mampu, dan beliau memerintahkan anaknya untuk shalat jika sudah tamyiz (bisa dinasihati). (Riwayat Ibnu Abid Dunya dalam Al-Iyal, 1:47)

Para ulama menganjurkan agar orang tua melatih anaknya untuk berpuasa jika mereka sudah mampu. Batas usianya adalah 7 tahun atau 10 tahun, memberi batasan 10 tahun. Al-Auza’i mengatakan, “Jika seorang anak mampu berpuasa tiga hari berturut-turut dan dia tidak lemah maka dia diminta untuk puasa. Demikian keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar (lihat Fathul bari, 3:5)

Dalam Mazhab Hanbali dinyatakan, “Diwajibkan untuk berpuasa bagi setiap muslim, yang mukalaf dan yang mampu. Sementara bagi wali anak kecil yang mampu puasa, hendaknya memerintahkannya (si anak) dan memukulnya agar (si anak, ed.) terbiasa (berpuasa, ed.).” (Ar-Raudhul Murbi’, 1:415)

Disadur dari artikel “Madza ‘an Shaumi Sibyan“, karya Dr. Kalid Al-Ahmad.

Sumber: http://www.saaid.net/mktarat/ramadan/359.htm

**

Apakah amal anak kecil diberi pahala?

Anak kecil, ketika sudah berusia 7 tahun, shalatnya sah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع، واضربوهم عليها وهم أبناء عشر

"Perintahkanlah anak kalian untuk shalat ketika berusia 7 tahun dan pukul mereka (jika menolak shalat, ed.) ketika berusia 10 tahun." (H.r. Abu Daud; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Jumhur ulama berpendapat bahwa anak yang sudah tamyiz mendapatkan pahala khusus. Dalam Fatawa Al-Kubra, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Jumhur ulama berpendapat bahwa pahala ibadah seorang anak adalah miliknya."

Syekh Muhammad Ulayis Al-Maliki memberikan rincian dalam kitab Fathul Aliyil Malik, “Pendapat yang menjadi pegangan adalah bahwa pahala amal ibadah seorang anak adalah untuk dirinya sendiri, sedangkan orang tuanya mendapatkan pahala karena menjadi penyebab si anak melakukan amal tersebut.”

Kemudian beliau membawakan perkataan Imam Al-Qarrafi, bahwa anak kecil dianjurkan melakukan amalan dan dia mendapatkan pahala dari amalan yang dia kerjakan …. Ada yang mengatakan, “Dia tidak mendapatkan pahala dan tidak dianjurkan untuk melakukan amalan maupun yang lainnya. Namun yang diperintahkan adalah walinya (orang tua atau orang yang merawatnya), yang telah memerintahkan si anak untuk beribadah dalam rangka mendidik. Sebagaimana melatih binatang tunggangan (untuk perang). Hal ini berdasarkan hadis, ‘Pena catatan amal diangkat dari tiga orang: (salah satunya adalah) anak kecil sampai balig.’"

Ibnu Rusyd mengatakan, “Sesungguhnya bagi anak kecil, perbuatan dosanya tidak dicatat dan perbuatan baiknya dicatat, menurut pendapat yang lebih kuat.”

Dalam At-Tamhid, Ibnu Abdil Bar membawakan riwayat dari Abul Aliyah, dari Umar bin Khatab radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau mengatakan,

تكتب للصغير حسناته ولا تكتب عليه سيئاته

"Perbuatan baik anak kecil dicatat dan perbuatan dosanya tidak dicatat." (At-Tamhid, 1:106)

Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&lang=A&Option=FatwaId&Id=94309

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah.com).

Aritkel www.KonsultasiSyariah.com

Kapan Harus Mulai Berhenti Sahur?

Posted: 14 Aug 2011 06:13 PM PDT

Pertanyaan:

Kapan Mulai wajib tidak makan minum? Bagaimana hukumnya orang yang masih memegang makanan sementara dia sudah mendengar azan?

Jawaban:

Alhamdulillah ….

Kewajiban dalam adalah menahan dari segala sesuatu yang membatalkan dari terbit fajar (subuh) hingga terbenam matahari (magrib). Allah berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

"Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (Q.s. Al-Baqarah:187)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

"Makan dan minumlah sampai Ibnu Umi maktum mengumandangkan azan, karena dia tidak berazan kecuali sampai terbit fajar." (H.r. Bukhari, no. 1919)

Oleh karena itu, siapa saja yang mengetahui terbitnya fajar dengan melihat langsung atau informasi dari yang lain maka dia wajib puasa. Demikian pula, orang yang mendengar azan, wajib segera berpuasa ketika mendengar azan, jika azannya dilakukan tepat waktu, dan tidak mendahului (fajar).

Hanya saja, para ulama mengecualikan untuk orang yang masih memegang makanan atau minuman ketika mendengar azan. Dia dibolehkan meminumnya. Berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

"Apabila seseorang di antara kalian mendengar azan, sementara wadah masih di tangan maka jangan dia letakkan wadah tersebut sampai dia menyelesaikan kebutuhannya." (H.r. Abu Daud, no. 2350; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Mayoritas ulama memaknai hadis ini untuk muazin yang berazan sebelum terbit fajar. Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa sebagian ulama mengambil zahir hadis dan membolehkan makan dan minum ketika mendengar azan subuh, sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas. Kemudian beliau mengatakan, “Mayoritas ulama melarang sahur bersamaan dengan terbitnya fajar. Ini adalah pendapat imam mazhab yang empat, umumnya para ulama, dan pendapat yang diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Abbas.” (Tahdzibus Sunan)

Terdapat beberapa riwayat dari sebagian sahabat yang menunjukkan bolehnya makan bagi orang yang hendak berpuasa, sampai dia yakin fajar telah terbit. Ibnu Hazm menyebutkan beberapa riwayat tentang hal ini, di antaranya:

  1. Umar bin Khatab mengatakan, "Apabila ada dua orang, yang satu ragu apakah fajar sudah terbit ataukah belum, maka makanlah sampai keduanya yakin."
  2. Ibnu Abbas mengatakan, "Allah menghalalkan minum, selama engkau masih ragu." Maksud beliau: ragu terbitnya fajar.
  3. Dari Makhul, beliau mengatakan, “Saya melihat Ibnu Umar mengambil seciduk zam-zam (di bawah). Kemudian beliau bertanya kepada dua orang, ‘Apakah fajar sudah terbit?’ Yang satu menjawab, ‘Telah terbit.’ Yang lain menjawab, ‘Belum.’ Kemudian Ibn Umar pun minum.”

Setelah membawakan banyak riwayat ini dan beberapa riwayat semacamnya, Ibnu Hazm memberi keterangan, "Ini semua, karena fajar belum jelas bagi mereka." (Al-Muhalla, 4:367)

Sementara itu, umumnya, muazin saat ini menggunakan acuan jadwal , bukan melihat hilal. Semacam ini tidak bisa disebut "yakin" bahwa fajar sudah terbit. Karena itu, siapa saja yang makan dalam keadaan semacam ini, maka puasanya sah karena dia belum yakin fajar sudah terbit. Hanya saja, yang lebih baik dan lebih hati-hati, hendaknya kita menahan diri dari segala yang membatalkan ketika sudah mendengar azan.

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa puasa bagi orang yang mendengar azan, sementara dia masih makan dan minum?”

Beliau menjawab, “Wajib bagi mukmin untuk menahan dari makan, minum dan pembatal lainnya jika telah jelas baginya terbitnya fajar, pada saat puasa wajib, seperti Ramadan, puasa nazar, dan kafarah. Allah berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.’ (Q.s. Al-Baqarah:187)

Jika dia mendengar azan dan dia tahu adzan ini dilakukan setelah terbit fajar maka dia wajib mulai puasa. Namun, jika muazin mulai adzan sebelum terbit fajar maka dia belum wajib puasa, sehingga dia boleh makan atau minum sampai jelas baginya telah terbit fajar.

Jika dia tidak tahu, apakah azan ini setelah terbit fajar ataukah sebelum fajar terbit, sikap yang lebih hati-hati, dia memulai puasa ketika mendengar azan. Tidak mengapa andaikan dia minum atau makan sedikit ketika azan, karena dia belum tahu terbitnya fajar.

Sebagaimana dipahami, orang yang berada di dalam kota yang penuh dengan penerangan listrik tidak memungkinkan untuk melihat terbitnya fajar dengan matanya ketika mulai terbit. Akan tetapi, hendaknya dia berhati-hati dalam beramal, dengan memperhatikan azan dan jadwal imsakiyah yang mencantumkan waktu terbit fajar berdasarkan perhitungan jam, dalam rangka mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لا يَرِيبُكَ

‘Tinggalkan perkara yang meragukan kepada perkara yang tidak meragukan.’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ

Siapa saja yang menjauhi syubuhat (hal yang meragukan) berarti dia telah membersihkan agama dan kehormatannya.’

Wallahu waliyyut taufiq.” (Fatawa Ramadhan oleh Asyraf Abdul Maqsud, hlm. 201)

Syekh Ibnu Utsaimin ditanya, “Kapan orang harus menahan makan, apakah seperti yang dikatakan banyak orang: ketika mendengar azan?s Bagaimana pula hukum orang yang minum setelah mendengar azan dengan sengaja?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Seseorang wajib menahan makan minum jika muazin berazan, di saat fajar telah terbit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu berazan karena dia tidak adzan kecuali sampai terbit fajar.’ Jika ada muazin yang mengikrarkan, ‘Saya melihat fajar, dan saya tidak akan azan hingga terbit fajar.’ Maka setiap orang yang mendengar azan wajib untuk menahan makan dan minum, kecuali dalam satu keadaan yang ada keringanan, yaitu ketika azan dikumandangkan sementara dia masih memegang makanan.

Akan tetapi, jika azannya berdasarkan jadwal , padahal jadwal tidak semuanya sesuai dengan waktu asli berdasarkan tanda alam, namun berdasarkan hisab, karena mereka tidak melihat fajar, tidak memperhatikan gerakan matahari, atau tergelincirnya matahari, tidak melihat posisi matahari ketika asar, demikian pula ketika terbenam.” (Al-Liqa’ Asy-Syahri, 1:214)

Kesimpulan Syekh Muhammad Munajid, “Selayaknya bagi seseorang untuk segera menahan diri dari pembatal puasa ketika mendengar azan, jika dia tahu bahwa azannya dilakukan tepat pada waktunya. Jika dia ragu, hedaknya dia cukupkan dengan minuman yang ada di tangannya, karena dia tidak mungkin melanjutkan makan dan minum sampai yakin terbit fajar karena realitanya dia tidak memiliki sarana untuk meyakinkan (terbitnya fajar), sementara di sekelilingnya penuh dengan cahaya lampu dan penerangan. Selain itu, banyak orang yang tidak mampu membedakan antara fajar shadiq (fajar penanda subuh) dengan fajar kadzib (bayangan fajar sebelum subuh). Allahu a’lam.”

Sumber: http://islamqa.com/ar/ref/124608

Diterjemahkan oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com).

Artikel www.KonsultasiSyariah.com