Rabu, 24 Agustus 2011

KonsultasiSyariah: Zakat Profesi dalam Tinjauan

KonsultasiSyariah: Zakat Profesi dalam Tinjauan


Zakat Profesi dalam Tinjauan

Posted: 24 Aug 2011 09:56 PM PDT

Apakah Ijtihad/Qiyas yang dipakai oleh ulama yang membolehkan Profesi itu bisa dijadikan dalil untuk diamalkan?

Bismillaahirrahmaanirrahii. Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillaah wa shalatu wassalaammu ‘alaa Rasulillaah…Ustadz yang semoga Allah senantiasa menjagamu, tadi pagi saya ditanya atasan saya perihal Hukum zakat profesi, Apakah Ijtihad/Qiyas yang dipakai oleh ulama yang membolehkan zakat profesi itu bisa dijadikan dalil untuk diamalkan? di Perusahaan saya sudah lama diberlakukan zakat profesi ini dengan cara potong gaji tiap bulannya berdasarkan kesepakatan sebelumnya, ada yang mau dan ada pula yang tidak mau dipotong gajinya. Terus adakah buku yang bagus yang khusus menjelaskan zakat profesi ini?

Dari: Hasan

Penjelasan penting perihal zakat profesi

Zakat yang diwajibkan untuk dipungut dari orang-orang kaya telah dijelaskan dengan gamblang dalam banyak dalil. Dan zakat adalah permasalahan yang tercakup dalam kategori permasalahan ibadah, dengan demikian tidak ada peluang untuk berijtihad atau merekayasa permasalahan baru yang tidak diajarkan dalam dalil. Para ulama’ Dari berbagai mazhab telah menyatakan:

الأَصْلُ فِي العِبَادَاتِ التَّوقِيفُ

“Hukum asal dalam permasalahan ibadah adalah tauqifi alias terlarang.”

Berdasarkan kaidah ini, para ulama’ menjelaskan bahwa barangsiapa yang membolehkan atau mengamalkan suatu amal ibadah, maka sebelumnya ia berkewajiban untuk mencari dalil yang membolehkan atau mensyari’atkannya. Bila tidak, maka amalan itu terlarang atau tercakup dalam amalan bid’ah:

مَنْ عَمِلَ عَمَل لَيْسَ عَلَيهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ رواه مسلم

“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (Riwayat Muslim)

Coba anda renungkan: Zakat adalah salah satu rukun Islam, sebagaimana syahadatain, , , dan haji. Mungkinkah anda dapat menolerir bila ada seseorang yang berijtihad pada masalah-masalah tersebut dengan mewajibkan sholat selain sholat lima waktu, atau mengubah-ubah ketentuannya; subuh menjadi 4 rakaat, maghrib 5 rakaat, atau waktunya digabungkan jadi satu. Ucapan syahadat ditambahi dengan ucapan lainnya yang selaras dengan perkembangan pola hidup umat manusia, begitu juga haji, diadakan di masing-masing negara guna efisiensi dana umat dan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan umat. Dan dibagi pada setiap bulan sehingga lebih ringan dan tidak memberatkan para pekerja pabrik dan pekerja berat lainnya.

Mungkinkah anda dapat menerima ijtihad ngawur semacam ini? Bila anda tidak menerimanya, maka semestinya anda juga tidak menerima ijtihad zakat profesi, karena sama-sama ijtihad dalam amal ibadah dan rukun Islam.

Terlebih-lebih telah terbukti dalam sejarah bahwa para sahabat nabi dan juga generasi setelah mereka tidak pernah mengenal apa yang disebut-sebut dengan zakat profesi, padahal apa yang disebut dengan gaji telah dikenal sejak lama, hanya beda penyebutannya saja. Dahulu disebut dengan al ‘atha’ dan sekarang disebut dengan gaji atau raatib atau mukafaah. Tentu perbedaan nama ini tidak sepantasnya mengubah hukum.

Ditambah lagi, bila kita mengkaji pendapat ini dengan seksama, maka kita akan dapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut sekilas bukti akan kejanggalan dan penyelewengan tersebut:

  1. Orang-orang yang mewajibkan zakat profesi meng-qiyaskan (menyamakan) zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, tanpa memperdulikan perbedaan antara keduanya. Zakat hasil pertanian adalah 1/10 (seper sepuluh) dari hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan 1/20 (seper dua puluh), bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 %, sehingga qiyas semacam ini adalah qiyas yang benar-benar aneh dan menyeleweng. Seharusnya qiyas yang benar ialah dengan mewajibkan zakat profesi sebesar 1/10 (seper sepuluh) bagi profesi yang tidak membutuhkan modal, dan 1/20 (seper dua puluh), tentu ini sangat memberatkan, dan orang-orang yang mengatakan ada zakat profesi tidak akan berani memfatwakan zakat profesi sebesar ini.
  2. Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli, dan standar nilai barang.
  3. Orang-orang yang memfatwakan zakat profesi telah nyata-nyata melanggar ijma’/kesepakatan ulama’ selama 14 abad, yaitu dengan memfatwakan wajibnya zakat pada gedung, tanah dan yang serupa.
  4. Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus, keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa buktinya:

Sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu pernah menjalankan suatu tugas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu iapun di beri upah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Pada awalnya, sahabat Umar radhiallahu ‘anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah.” (Riwayat Muslim)

Seusai sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan, beliau berjumpa dengan Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu, maka Umarpun bertanya kepadanya: “Hendak kemanakah engkau?” Abu Bakar menjawab: “Ke pasar.” Umar kembali bertanya: “Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukkanmu?” Abu Bakar menjawab: “Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?” Umarpun menjawab: “Kita akan meberimu secukupmu.” (Riwayat Ibnu Sa’ad dan Al Baihaqy)

Imam Al Bukhary juga meriwayatkan pengakuan sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tentang hal ini,

لقد عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لم تَكُنْ تَعْجِزُ عن مؤونة أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أبي بَكْرٍ من هذا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فيه

“Sungguh kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku, sedangkan sekarang, aku disibukkan oleh urusan umat Islam, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul maal), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka.” (Riwayat Bukhary)

Ini semua membuktikan bahwa gaji dalam kehidupan umat islam bukanlah suatu hal yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satupun ulama’ yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada, yang ada hanyalah , yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (tahun).

Oleh karena itu ulama’ ahlul ijtihaad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini, diantara mereka adalah Syeikh Bin Baz, beliau berkata: “Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci:  Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati.” (Maqalaat Al Mutanawwi’ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Ar Rasaa’il 18/178.)

Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, berikut fatwanya:

“Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah  berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan  uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu  tahun (haul).” (Majmu’ Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/281, fatwa no: 1360)

Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ. رواه مسلم

“Tidaklah itu akan mengurangi harta kekayaan.” (HR. Muslim)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka saya mengusulkan agar anda mengusulkan kepada perusahaan anda atau atasan anda agar menghapuskan pemotongan gaji yang selama ini telah berlangsung dengan alasan zakat profesi. Karena bisa saja dari sekian banyak yang dipotong gajinya belum memenuhi kriteria wajib zakat. Karena harta yang berhasil ia kumpulkan/tabungkan belum mencapai nishab. Atau kalaupun telah mencapai nishab mungkin belum berlalu satu tahun/haul, karena telah habis dibelanjakan pada kebutuhan yang halal. Dan kalaupun telah mencapai satu nishab dan telah berlalu satu haul/tahun, maka mungkin kewajiban zakat yang harus ia bayarkan tidak sebesar yang dipotong selama ini. Wallahu ta’ala a’alam bis showaab.

Berdasarkan jawaban pertama, maka tidak perlu anda mencari buku-buku atau tulisan-tulisan yang membahasa masalah zakat profesi. Cukuplah anda dan juga umat Islam lainnya mengamalkan zakat-zakat yang telah nyata-nyata disepakati oleh seluruh ulama’ umat islam sepanjang sejarah. Dan itu telah dibahas tuntas oleh para ulama’ kita dalam setiap kitab-kitab fiqih. Wallahu a’alam bisshawab.

Dijawab oleh Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Ketentuan Zakat Fitri Bagi Orang Tidak Mampu

Posted: 24 Aug 2011 07:36 PM PDT

Ketentuan Bagi “Orang Tidak Mampu”

Assalamu ‘alaikum. Karena keadaan saya termasuk ke dalam golongan orang yang menerima zakat, para kerabat saya memutuskan untuk memberikan zakat kepada saya. Apakah saya tetap harus membayar zakat juga? Bagaimana cara menghitung dan ketentuan zakat fitrah? Saya tidak punya simpanan/tabungan sama sekali. Wassalamu ‘alaikum.

NN (**@gmail.com)

Jawaban untuk berapa ketentuan zakat:

Wa’alaikumussalam.

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan , berupa satu sha' kurma kering atau gandum kering. (Kewajiban) ini berlaku bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun , anak kecil maupun orang dewasa …." (H.r. Al-Bukhari, no. 1433; Muslim, no. 984)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala dan perbuatan atau ucapan jorok, juga sebagai makanan bagi …..” (H.r. Abu Daud no. 1611; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)

Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa zakat fitri hukum wajib bagi orang yang memenuhi dua persyaratan berikut:

  1. Beragama Islam.
  2. Mampu untuk menunaikannya.

Ulama berselisih pendapat tentang ukuran “mampu” (ketentuan zakat), terkait kewajiban zakat fitri.

Mayoritas ulama (Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah) memberikan batasan, bahwa jika seseorang memiliki sisa makanan untuk dirinya dan keluarganya pada malam hari raya dan besok paginya maka dia wajib membayar zakat fitri, karena dalam Islam, orang yang berada dalam keadaan semacam ini telah dianggap berkecukupan.

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Barang siapa yang meminta, sementara dia memiliki sesuatu yang mencukupinya, maka dia telah memperbanyak api neraka (yang akan membakar dirinya)." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apa ukuran sesuatu yang mencukupinya (sehingga tidak boleh meminta)?" Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Dia memiliki sesuatu yang mengeyangkan untuk (dirinya dan keluarganya) selama sehari-semalam." (H.r. Abu Daud; dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani)

Imam Ahmad ditanya, “Apakah orang miskin wajib mengeluarkan zakat fitri?”

Beliau rahimahullah menjawab,

إِذَا كَانَ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَمَا فَضُلَ عَنْهُ لِيُؤَدِّي

"Jika dia memiliki bahan makanan yang cukup untuk satu hari maka sisanya ditunaikan untuk zakat."

Beliau ditanya lagi, “Jika dia tidak memiliki apa pun?” Imam Ahmad menjawab, "Dia tidak wajib membayar zakat apa pun." (Al-Masail Imam Ahmad, riwayat Abu Daud, 1:124)

Ibnu Qudamah mengatakan, "Zakat fitri tidak wajib kecuali dengan dua syarat. Salah satunya, dia memiliki sisa makanan untuk dirinya dan keluarganya pada malam dan siang hari raya sebanyak satu sha'. karena nafkah untuk pribadi itu lebih penting, sehingga wajib untuk didahulukan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Mulai dari dirimu dan orang yang kamu tanggung nafkahnya.’ (H.r. At-Turmudzi)." (lihat Al-Kafi fi Fiqh Hanbali, 1:412).

Kemudian Ibnu Qudamah memberikan rincian, “Jika tersisa satu sha' (dari kebutuhan makan sehari-semalam ketika hari raya, pen.) maka dia membayarkan satu sha' tersebut sebagai zakat untuk dirinya.

Jika tersisa lebih dari 1 sha' (misalnya: 2 sha') maka satu sha' untuk zakat dirinya dan satu sha' berikutnya dibayarkan sebagai zakat untuk orang yang paling berhak untuk didahulukan dalam mendapatkan nafkah (misalnya: istri).

Jika sisanya kurang dari satu sha', apakah sisa ini bisa dibayarkan sebagai zakat? Dalam hal ini, ada dua pendapat:

  1. Wajib ditunaikan sebagai zakat, berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Jika aku perintahkan sesuatu maka amalkanlah semampu kalian.’ (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
  2. Tidak wajib ditunaikan, karena belum memenuhi yang harus ditunaikan (yaitu satu sha').

Jika terdapat sisa satu sha' namun dia memiliki utang, manakah yang harus didahulukan? Dalam hal ini, ada dua keadaan:

  1. Orang yang memberi utang meminta agar segera dilunasi maka didahulukan pelunasan utang daripada zakat, karena ini adalah hak anak Adam yang bersifat mendesak.
  2. Orang yang memberi utang tidak menagih utangnya maka wajib dibayarkan untuk zakat, karena kewajiban zakat ini mendesak sementara kewajiban membayar utang tidak mendesak sehingga lebih didahulukan zakat.”

Catatan berapa ketentuan zakat bagi yang tidak mampu:

Terkadang ada orang yang berhak menerima zakat dan sekaligus berkewajiban membayar zakat fitri, karena dia memiliki simpanan beras, lebih dari yang dia butuhkan, baik beras itu berasal dari panen , diberi oleh orang lain, atau beras yang dikumpulkan dari setiap orang yang memberikan zakat fitri kepadanya.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: kadar zakat, uang zakat, ukuran zakat, orang miskin dilarang zakat, "zakat fitrah", zakat orang miskin, picture, sedekah, zakat fitri

Zakat Fitri Diberikan Kemana?

Posted: 24 Aug 2011 06:38 PM PDT

Kemana harus membayar ?

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ustadz, saya ingin menanyakan tentang pembayaran zakat . Saat ini saya sedang berada di Belanda, insya Allah sampai dengan akhir September 2011. Apakah boleh zakat fitrah saya ditunaikan di Indonesia oleh keluarga saya di Indonesia? Bagaimana jika membayar zakat di sini dalam bentuk uang dan kemudian ditransfer ke Indonesia untuk ditunaikan di Indonesia, karena tidak tahu kepada siapa zakat fitrah diberikan di Belanda? Jazakallah khairan. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Heri Istanto (hristanto**@***.com)

Jawaban untuk permasalahan alokasi zakat:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Jika memang di Belanda tidak ada muslim miskin maka boleh Anda bayarkan zakat di Indonesia. Akan tetapi, jika di sana masih ada muslim yang miskin maka tidak boleh.

Jawaban Ustadz Aris Munandar, M.A. (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

**

Catatan redaksi (oleh Ustadz Ammi Nur Baits [Dewan Pembina Konsultasi Syariah]):

Pada asalnya, dibayarkan di daerah tempat orang tersebut berada ketika hari raya. Hanya saja, diperbolehkan menunaikan di luar tempat orang tersebut berdomisili, karena sebab tertentu. Syahnun bertanya kepada Ibnul Qasim (murid Imam Malik), "Apa pendapat Imam Malik tentang orang Afrika yang tinggal di Mesir pada saat hari raya; di manakah zakat fitrinya ditunaikan?” Ibnul Qosim menjawab, "Imam Malik mengatakan, "Zakat fitri ditunaikan di lokasi dia berada. Jika keluarganya di Afrika membayarkan zakat fitri untuknya, hukumnya boleh dan sah." (Al-Mudawwanah, 2:367)

Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah ditanya tentang tempat penunaian zakat fitri yang disyariatkannya. Beliau menjawab, "Selayaknya, kita memahami kaidah bahwasanya zakat fitri itu mengikuti badan, maksudnya badan orang yang dizakati. Adapun zakat harta mengikuti (di manakah) harta tersebut berada. Berdasarkan hal ini, orang yang berada di Mekkah, zakat fitrinya ditunaikan di Mekkah, sedangkan keluarganya yang tinggal di luar Mekkah, zakat fitrinya ditunaikan di tempat mereka masing-masing." (Majmu' Fatawa Ibnu Utsaimin, 18:327)

Allahu a’lam.

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Niat Zakat Fitrah

Posted: 24 Aug 2011 12:51 AM PDT

Niat

Ustadz, apakah ada niat khusus () ketika mengeluarkan zakat fitrah?

Jawaban:

Niat ikhlas dalam ibadah adalah bagian dari rukun diterimanya ibadah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Semua amal tergantung pada niatnya." (H.r. Bukhari dan Muslim). Jika seseorang beribadah namun tidak ikhlas, ibadahnya tidak diterima oleh Allah.

Niat adalah amal yang bertempat di . Dengan demikian, tidak boleh melafalkan niat dalam melakukan ibadah apa pun, termasuk ketika membayar zakat fitrah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –orang yang paling sempurna ibadahnya– tidak pernah mengajarkan maupun mengamalkan lafal niat, dalam ibadah apa pun.

Berniat itu wajib dilakukan tetapi tidak boleh dilafalkan. Oleh karena itu, melafalkan niat termasuk perbuatan yang keluar dari ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berikut ini beberapa keterangan ulama tentang larangan melafalkan niat. Dalam hal ini, kasus yang mereka bahas adalah melafalkan niat ketika .

Pertama, Al-Qadhi Abur Rabi' Asy-Syafi'i mengatakan, "Mengeraskan niat dan bacaan di belakang imam bukanlah bagian dari sunah. Bahkan, ini adalah sesuatu yang dibenci. Jika ini mengganggu jemaah shalat yang lain maka hukumnya haram." (Al-Qaulul Mubin, Syekh Masyhur Hasan, hlm. 91)

Kedua, kesalahpahaman terhadap keterangan Imam Syafi’i terkait bacaan di awal shalat. Sebagian orang yang bermazhab Syafi'iyah salah paham terhadap ucapan Imam Syafi'i. Mereka mengira bahwa Imam Syafi'i mewajibkan melafalkan niat. Imam Asy-Syafi'i mengatakan, "… Shalat itu tidak sah, kecuali dengan an-nuthq." (Al-Majmu', 3:277)

An-nuthq” artinya ‘berbicara’ atau ‘mengucapkan’. Sebagian pengikut Syafi'iyah memaknai “an-nuthq” di sini dengan ‘melafalkan niat’. Padahal, ini adalah salah paham terhadap maksud beliau rahimahullah. Dijelaskan oleh An-Nawawi bahwa yang dimaksud dengan “an-nuthq” di sini bukanlah mengeraskan bacaan niat, namun maksudnya adalah ‘mengucapkan takbiratul ihram’. An-Nawawi mengatakan, "Ulama kami (Syafi'iyah) mengatakan, ‘Orang yang memaknai demikian telah berbuat keliru. Yang dimaksud Asy-Syafi'i dengan ‘an-nuthq‘ ketika shalat bukanlah melafalkan niat namun maksud beliau adalah takbiratul ihram.’" (Al-Majmu', 3:277)

Kesalahpahaman ini juga dibantah oleh Abul Hasan Al-Mawardi Asy-Syafi'i; beliau mengatakan, "Az-Zubairi telah salah dalam mentakwil ucapan Imam Syafi'i dengan wajibnya mengucapkan niat ketika shalat. Ini adalah takwil yang salah. Yang dimaksudkan ‘wajibnya mengucapkan’ adalah ketika takbiratul ihram." (Al-Hawi Al-Kabir, 2:204)

Selama sudah ada lintasan dalam hati seseorang untuk melakukan zakat fitrah maka dia sudah dianggap berniat.

Hanya saja, untuk bisa mendapatkan pahala yang lebih, seseorang bisa menghadirkan hal yang lain. Di antara hal yang perlu dihadirkan dalam hati ketika hendak beribadah adalah:

  • Ibadah ini dilakukan karena mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Zakat fitrah ini dalam rangka melestarikan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Ingin menunjukkan rasa cinta dan perhatiannya kepada muslim yang membutuhkan.
  • Jika diberikan kepada kerabat maka hadirkan niat untuk bersilaturahim dan menjalin hubungan dekat dengan keluarga.

Dengan menghadirkan beberapa niat di atas ketika beramal, seseorang akan mendapatkan pahala lebih.

Contoh tidak melakukan niat zakat

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih, terdapat pertanyaan, “Apa hukum orang yang menyerahkan di bulan Ramadan, hanya saja tidak dimaksudkan untuk zakat fitrah (tidak niat zakat fitrah) , tetapi hanya sebatas sedekah untuk membantu orang yang membutuhkan? Apakah sedekah ini bisa menggantikan kewajiban zakat fitrah?”

Jawaban, “Zakat fitrah adalah ibadah, yang tidak sah kecuali dengan niat, sebagaimana yang telah dipahami. Orang yang mengeluarkan sedekah tersebut di bulan Ramadan –dengan tujuan membantu orang yang membutuhkan– tidak bisa disebut zakat fitrah, berdasarkan kesepakatan ulama, karena sedekah tersebut tidak bisa menggantikan kedudukan zakat fitrah.” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 23506)

Fatwa ulama Hadramaut (sumber: http://mualm.com)

Syekh Ahmad bin Hasan Al-Mu’alim pernah ditanya, “Apakah disyaratkan adanya niat ketika membayar zakat fitrah, sebagaimana ibadah lainnya? Bolehkan niat ini dilafalkan?”

Beliau menjelaskan, “Termasuk syarat sah membayar zakat fitrah adalah niat karena niat merupakan amal yang agung dalam Islam. Sebagaimana kandungan hadis dari Umar bin Khaththab; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى

Sesungguhnya, amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya (pahala) yang diperoleh seseorang sesuai niatnya.’ (H.r. Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, suatu amal tidak akan diterima kecuali dengan niat; tempat niat itu di hati. Imam Nawawi telah menyebutkan dalam kitabnya, Al-Majmu’, bahwa jika seseorang berniat di dalam hatinya tanpa dilafalkan dengan lisannya maka amalnya sah, ulama menyepakati ini. Sebaliknya, jika ada orang yang melafalkan niat dengan lisannya –yaitu niat untuk menunaikan zakat fitrah– namun hatinya tidak berniat maka hampir semua ulama mengatakan amalnya tidak sah. Karena itu, niat itu bertempat di hati, dan tidak ada anjuran untuk melafalkannya karena tidak ada dalil tentang hal itu.” (Nafahatul Atrh fil Ijabati ‘ala As’ilati Zakatil , no. 6)

Syekh Ahmad bin Hasan Al-Mu’alim adalah salah satu ulama barisan ahlus sunah dari Wadi ‘Amd, Hadramaut. Beliau merupakan khatib tetap di Masjid Khalid bin Walid Al-Mikla di Hadramaut. Beliau juga menjadi ketua “Majelis Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah” di Hadramaut.

Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kata Kunci Terkait: zakat fitri, niat zakat, niat zakat fitrah, uang zakat, kadar zakat, sedekah, "zakat fitrah", picture