Konsultasi Syariah: Mencumbu Kemaluan Istri |
Posted: 08 Jul 2011 03:00 PM PDT Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum. Bolehkah mencium kemaluan istri sendiri, menurut Islam? Syarif (cie**@***.com) Wa’alaikumussalam warahmatullah. Bismillah. Diperbolehkan bagi masing-masing suami-istri untuk menikmati keindahan tubuh pasangannya. Allah berfirman, هن لباس لكم وأنتم لباس لهن<.p> "Para istri kalian adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi istri kalian." (Q.S. Al-Baqarah:187) Allah juga berfirman, نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم "Para istri kalian adalah ladang bagi kalian. Karena itu, datangilah ladang kalian, dengan cara yang kalian sukai." (Q.S. Al-Baqarah:223) Hanya saja, ada dua hal yang perlu diperhatikan:
Tentang mencium atau menjilati kemaluan pasangan, tidak terdapat dalil tegas yang melarangnya. Hanya saja, perbuatan ini bertentangan dengan fitrah yang lurus dan adab Islam. Betapa tidak, kemaluan, yang menjadi tempat keluarnya benda najis, bagaimana mungkin akan ditempelkan di lidah, yang merupakan bagian anggota badan yang mulia, yang digunakan untuk berzikir dan membaca Alquran? Oleh karena itu, selayaknya tindakan tersebut ditinggalkan, dalam rangka:
Ini semua merupakan bagian dari usaha menjaga kebersihan dan kesucian jiwa. Allah berfirman, إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين "Sesungguhnya, Allah mencintai orang yang bertobat dan mencintai orang yang menjaga kebersihan." (Q.S. Al-Baqarah:222) Maksud ayat adalah Allah mencintai orang menjaga diri dari segala sesuatu yang kotor dan mengganggu. Termasuk sesuatu yang kotor adalah benda najis, seperti: madzi. Sementara, kita sadar bahwa, dalam kondisi semacam ini, tidak mungkin jika madzi tidak keluar. Padahal, benda-benda semacam ini tidak selayaknya disentuhkan ke bibir atau ke lidah. Allahu a’lam. (Disarikan dari Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih) Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah). |
Posted: 07 Jul 2011 11:16 PM PDT Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum. Apakah shalat “nishfu Sya’ban” itu ada dan sesuai dengan Sunah? Saya sering mendengar adanya pelaksanaan shalat tersebut secara berjemaah, biasanya dalam rangka menyambut Ramadhan. Jazakallahu khairan. Arya (dwiarya**@***.com) Wa’alaikumussalam warahmatullah. Ulama berselisish pendapat tentang status keutamaan malam nishfu Sya’ban. Setidaknya, ada dua pendapat yang saling bertolak belakang dalam masalah ini. Berikut ini keterangannya. Pendapat pertama: Tidak ada keutamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban. Statusnya sama dengan malam-malam biasa lainnya. Mereka menyatakan bahwa semua dalil yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadis lemah. Al-Hafizh Abu Syamah mengatakan, “Al-Hafizh Abul Khithab bin Dihyah, dalam kitabnya tentang bulan Sya’ban, mengatakan, ‘Para ulama ahli hadis dan kritik perawi mengatakan, ‘Tidak terdapat satu pun hadis sahih yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban.”" (Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’, hlm. 33) Syekh Abdul Aziz bin Baz juga mengingkari adanya keutamaan bulan Sya’ban dan nishfu Sya’ban. Beliau mengatakan, "Terdapat beberapa hadis dhaif tentang keutamaan malam nishfu Sya’ban, yang tidak boleh dijadikan landasan. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat di malam nishfu Sya’ban, semuanya statusnya palsu, sebagaimana keterangan para ulama (pakar hadis)." (At-Tahdzir min Al-Bida’, hlm. 11) Pendapat kedua: Ada keutamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban. Pendapat ini berdasarkan hadis sahih dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan." (H.R. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani; dinilai sahih oleh Al-Albani) Setelah menyebutkan beberapa waktu yang utama, Syekhul Islam mengatakan, “… Pendapat yang dipegang mayoritas ulama dan kebanyakan ulama dalam Mazhab Hanbali adalah meyakini adanya keutamaan malam nishfu Sya’ban. Ini juga sesuai keterangan Imam Ahmad. Mengingat adanya banyak hadis yang terkait masalah ini, serta dibenarkan oleh berbagai riwayat dari para shahabat dan tabi’in ….” (Majmu’ Fatawa, 23:123) Ibnu Rajab mengatakan, “Terkait malam nishfu Sya’ban, dahulu para tabi’in penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Mak-hul, Luqman bin Amir, dan beberapa tabi’in lainnya memuliakannya dan bersungguh-sungguh dalam beribadah di malam itu ….” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 247) Kesimpulan: Dari keterangan di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah). |
You are subscribed to email updates from Kumpulan Tanya Jawab Pendidikan Islam dan Keluarga To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar